Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Antara Tindak Pidana Pencabulan dan Tindak Pidana Pemerkosaan
Abstract
Kekerasan seksual merupakan ancaman besar yang berlangsung di
beraneka ragam lingkungan pendidikan, termasuk di perguruan tinggi, membuat
mahasiswa merasa tidak aman. Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari
berbagai kalangan, termasuk dosen dan sesama mahasiswa. Perbedaan antara
pencabulan dan pemerkosaan seringkali membingungkan, meskipun keduanya
memiliki perbedaan mendasar. Sistem hukum pidana, meskipun mengenal prinsip
"In dubio pro reo", harus cermat dalam memutuskan kasus kekerasan seksual
dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada. Seperti dalam kasus tindak
pidana pencabulan pada Pengadilan Negeri Surabaya pada Putusan No.
1361/Pid.B/2022/PN Sby yang terjadi di Pondok Pesantren MHW, Jombang
menunjukkan kompleksitas dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Perkembangan hukum pidana, termasuk KUHP baru yang mulai berlaku,
diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum dan mengurangi kasus
kekerasan seksual.
Analisa penelitian skripsi dalam kasus tersebut menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menggabungkan pendekatan
perundangan- undangan dan pendekatan konseptual. Dalam pengumpulan bahan
hukum, metode yang digunakan adalah studi pustaka, yang mencakup bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini membahas beberapa
permasalahan. Pertama, kesesuaian penggunaan Pasal 289 KUHP dalam memutus
terdakwa yang melakukan tindak pidana pencabulan atau pemerkosaan terhadap
mahasiswi. Penelitian ini juga melihat bagaimana sistem pembuktian sesuai
dengan Pasal 183 KUHAP diterapkan dalam kasus tersebut. Selain itu, penelitian
ini menganalisis dasar pertimbangan hakim yang menjatuhkan pidana penjara
selama 7 tahun pada terdakwa dalam putusan No. 1361/Pid.B/2022/PN.Sby.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami alasan di balik keputusan hakim dan
bagaimana hukum diterapkan dalam kasus ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kasus perkara pada putusan
tersebut kasus kekerasan seksual dengan Terdakwa pada perkara nomor
1361/Pid.B/2022/PN.Sby melibatkan dua tindak pidana pada tanggal 8 Mei 2017
dan 20 Mei 2017, yang semuanya merupakan perkosaan. Meskipun fakta
persidangan jelas mendukung penggunaan Pasal 285 KUHP, majelis hakim
memilih Pasal 289 KUHP tanpa kecermatan yang memadai, mengabaikan urutan
dakwaan alternatif dan alat bukti yang valid. UU 1/2023 memperluas makna dan
hukuman pencabulan, memungkinkan pelaku kekerasan seksual dijerat dengan
Pasal 406 s.d. 421. Pergeseran pandangan terhadap pelaku dan korban antara
KUHP lama dan baru, serta UU TPKS, memperluas penafsiran hukuman.xiii
Meskipun UU TPKS dianggap aturan khusus, dalam praktiknya, pasal-pasal dari
KUHP, UU 1/2023, dan UU TPKS dapat digunakan bersama jika unsur tindak
pidana terpenuhi. Upaya pemerintah dalam mengatur kekerasan seksual di
perguruan tinggi juga dibutuhkan demi terciptanya lingkungan yang aman dan
bebas dari kekerasan seksual. Selain itu, penelitian ini juga menekankan
pentingnya upaya pemerintah dalam mengatur dan menangani kekerasan seksual
di lingkungan perguruan tinggi. Langkah-langkah ini diperlukan untuk
menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan bahwa pengambilan keputusan
yang cermat dan tepat dalam kasus kekerasan seksual sangat penting untuk
memastikan keadilan bagi korban dan efektivitas penegakan hukum.
Adapun saran yang dapat penulis berikan berdasarka uraian yang sudah
ada pada bab pembahasan dan kesimpulan, yaitu Pertama, Proses pembuktian dan
pemeriksaan alat bukti di persidangan pada perkara hukum pidana telah diatur
dalam hukum positif di Indonesia. Seharusnya menerapkan prinsip ketentuan dan
aturan-aturan yang berlaku sebagaimana landasan pada Hukum Acara Pidana. Hal
tersebut sangatlah penting karena berkaitan dengan konteks hukum pidana yang
membutuhkan kebenaran materiil. Kedua, Berkesesuaian terhadap dasar
pertimbangan pada putusan Majelis Hakim atas pelaku pemerkosa seharusnya
mampu mengkonstruksikan Ratio decidendi tersebut dengan didasarkan pada
fakta- fakta hukum yang ada, menjalankan proses pembuktian dan pemeriksaan
alat-alat bukti agar dapat menemukan dan menggali kebenaran materiil, serta
melihat kasus perkara melalui berbagai sudut pandang. Hal tersebut sangatlah
penting untuk dapat melahirkan dasar pertimbangan putusan yang tepat dan
bijaksana dengan memiliki nilai-nilai keadilan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6218]