• Login
    View Item 
    •   Home
    • UNDERGRADUATE THESES (Koleksi Skripsi Sarjana)
    • UT-Faculty of Law
    • View Item
    •   Home
    • UNDERGRADUATE THESES (Koleksi Skripsi Sarjana)
    • UT-Faculty of Law
    • View Item
    JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

    Karakteristik Asas Diferensiasi Fungsional Dalam Proses Penetapan Tersangka Pada Tindak Pidana Kehutanan

    Thumbnail
    View/Open
    Anindya Firdaus Ramadhan_190710101296.pdf (940.9Kb)
    Date
    2023-07-25
    Author
    RAMADHAN, Anindya Firdaus
    Metadata
    Show full item record
    Abstract
    Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat besar dan beraneka ragam, kekayaan alam tersebut diantaranya adalah hutan. Begitu kayanya negara ini dengan hutan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ukuran hutan terbesar di dunia. Namun, seiring berjalannya waktu, luas hutan di indonesia semakin berkurang akibat adanya eksploitasi yang berlebihan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Tujuan dari undang-undang adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam menjamin terjaganya kelestarian hutan beserta fungsinya, serta memaksimalkan pemanfaatan dan pengelolaan hutan dengan melihat keseimbangan fungsi hutan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. UU P3H mengatur ketentuan mengenai tindak pidana kehutanan yang bertujuan untuk menanggulangi tindakan yang berpotensi merusak hutan serta memberikan sanksi kepada siapa saja yang telah melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang tersebut guna memberikan efek jera. UU P3H juga menitikberatkan pada tindak pidana kehutanan yang dilaksanakan secara terorganisir oleh dua orang atau lebih dengan maksud untuk merusak hutan serta pelaksanaan hukum acara tindak pidana kehutanan. Terdapat hal yang menarik dalam UU P3H yakni dalam undang-undang tersebut Hakim memiliki kewenangan untuk menetapkan status tersangka sebagaimana terdapat pada Pasal 36 huruf d. Tentunya ketentuan ini akan bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP dimana penetapan tersangka sejatinya merupakan kewenangan dari Penyidik, selain itu apabila melihat pada tugas dan fungsi seorang Hakim, tentulah Hakim mempunyai asas-asas Hakim yang tidak boleh disalahi. Salah satunya adalah asas praduga tidak bersalah, tentunya ketika Hakim memiliki kewenangan untuk dapat menetapkan tersangka, maka akan berpotensi untuk menyalahi asas tersebut dan mencederai keadilan. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan dikaji ialah kewenangan penetapan status tersangka pada tindak pidana kehutanan berdasarkan asas diferensiasi fungsional, dan implikasi yuridis terhadap kewenangan penetapan status tersangka pada tindak pidana kehutanan. Penulisan menggunakan tipe penelitian normatif yuridis dengan pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum yang digunakan ada 3 yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum yang kemudian dianalisis sesuai dengan topik yang dibahas. Hasil pembahasan menggunakan metode penelitian diatas adalah pelaksanaan kewenangan Hakim untuk menetapkan tersangka sejatinya melanggar penerapan asas diferensiasi fungsional namun perlu dipahami bahwa penerapan suatu asas bukanlah suatu hal yang konkrit, selain itu meninjau dari ratio legis pembentukan UU P3H, kewenangan penetapan tersangka oleh Hakim merupakan bentuk upaya dalam mengatasi permasalahan perusakan hutan, perlu diingat juga bahwa hukum di Indonesia menganut asas lex specialis derogat legi generali dimana asas ini mengizinkan adanya ketentuan dalam hukum khusus yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam umum. Ketentuan yang bersifat lex specialis ini menimbulkan adanya implikasi dalam pelaksanaanya dikarenakan tidak diaturnya mekanisme pelaksanaan ketentuan tersebut baik dalam UU P3H maupun dalam peraturan pelaksana lainnya. Dalam penetapan status tersangka oleh Hakim dalam hal bukti permulaan yang cukup Hakim hanya berpedoman pada keyakinannya saja dan tidak perlu memenuhi batas minimum bukti permulaan yakni 2 (dua) alat bukti. Pelanjutnya penetapan tersangka pada perkembangannya termasuk dalam objek pra-peradilan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, namun terkait penetapan status tersangka oleh Hakim tidak dapat dilaksanakan pra-peradilan terhadapnya, hal ini dikarenakan pra-peradilan yang dimaksud dalam KUHAP maupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ialah pra-peradilan dapat dilaksanakan untuk upaya paksa yang dilakukan Penyidik dan Penuntut Umum.
    URI
    https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/118057
    Collections
    • UT-Faculty of Law [6332]

    UPA-TIK Copyright © 2024  Library University of Jember
    Contact Us | Send Feedback

    Indonesia DSpace Group :

    University of Jember Repository
    IPB University Scientific Repository
    UIN Syarif Hidayatullah Institutional Repository
     

     

    Browse

    All of RepositoryCommunities & CollectionsBy Issue DateAuthorsTitlesSubjectsThis CollectionBy Issue DateAuthorsTitlesSubjects

    My Account

    LoginRegister

    Context

    Edit this item

    UPA-TIK Copyright © 2024  Library University of Jember
    Contact Us | Send Feedback

    Indonesia DSpace Group :

    University of Jember Repository
    IPB University Scientific Repository
    UIN Syarif Hidayatullah Institutional Repository