Show simple item record

dc.contributor.authorRAMADHAN, Anindya Firdaus
dc.date.accessioned2023-09-29T02:18:23Z
dc.date.available2023-09-29T02:18:23Z
dc.date.issued2023-07-25
dc.identifier.nim190710101296en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/118057
dc.description.abstractIndonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan alam yang sangat besar dan beraneka ragam, kekayaan alam tersebut diantaranya adalah hutan. Begitu kayanya negara ini dengan hutan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ukuran hutan terbesar di dunia. Namun, seiring berjalannya waktu, luas hutan di indonesia semakin berkurang akibat adanya eksploitasi yang berlebihan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Tujuan dari undang-undang adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam menjamin terjaganya kelestarian hutan beserta fungsinya, serta memaksimalkan pemanfaatan dan pengelolaan hutan dengan melihat keseimbangan fungsi hutan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. UU P3H mengatur ketentuan mengenai tindak pidana kehutanan yang bertujuan untuk menanggulangi tindakan yang berpotensi merusak hutan serta memberikan sanksi kepada siapa saja yang telah melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang tersebut guna memberikan efek jera. UU P3H juga menitikberatkan pada tindak pidana kehutanan yang dilaksanakan secara terorganisir oleh dua orang atau lebih dengan maksud untuk merusak hutan serta pelaksanaan hukum acara tindak pidana kehutanan. Terdapat hal yang menarik dalam UU P3H yakni dalam undang-undang tersebut Hakim memiliki kewenangan untuk menetapkan status tersangka sebagaimana terdapat pada Pasal 36 huruf d. Tentunya ketentuan ini akan bertentangan dengan asas diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP dimana penetapan tersangka sejatinya merupakan kewenangan dari Penyidik, selain itu apabila melihat pada tugas dan fungsi seorang Hakim, tentulah Hakim mempunyai asas-asas Hakim yang tidak boleh disalahi. Salah satunya adalah asas praduga tidak bersalah, tentunya ketika Hakim memiliki kewenangan untuk dapat menetapkan tersangka, maka akan berpotensi untuk menyalahi asas tersebut dan mencederai keadilan. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan dikaji ialah kewenangan penetapan status tersangka pada tindak pidana kehutanan berdasarkan asas diferensiasi fungsional, dan implikasi yuridis terhadap kewenangan penetapan status tersangka pada tindak pidana kehutanan. Penulisan menggunakan tipe penelitian normatif yuridis dengan pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Bahan hukum yang digunakan ada 3 yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum yang kemudian dianalisis sesuai dengan topik yang dibahas. Hasil pembahasan menggunakan metode penelitian diatas adalah pelaksanaan kewenangan Hakim untuk menetapkan tersangka sejatinya melanggar penerapan asas diferensiasi fungsional namun perlu dipahami bahwa penerapan suatu asas bukanlah suatu hal yang konkrit, selain itu meninjau dari ratio legis pembentukan UU P3H, kewenangan penetapan tersangka oleh Hakim merupakan bentuk upaya dalam mengatasi permasalahan perusakan hutan, perlu diingat juga bahwa hukum di Indonesia menganut asas lex specialis derogat legi generali dimana asas ini mengizinkan adanya ketentuan dalam hukum khusus yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam umum. Ketentuan yang bersifat lex specialis ini menimbulkan adanya implikasi dalam pelaksanaanya dikarenakan tidak diaturnya mekanisme pelaksanaan ketentuan tersebut baik dalam UU P3H maupun dalam peraturan pelaksana lainnya. Dalam penetapan status tersangka oleh Hakim dalam hal bukti permulaan yang cukup Hakim hanya berpedoman pada keyakinannya saja dan tidak perlu memenuhi batas minimum bukti permulaan yakni 2 (dua) alat bukti. Pelanjutnya penetapan tersangka pada perkembangannya termasuk dalam objek pra-peradilan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, namun terkait penetapan status tersangka oleh Hakim tidak dapat dilaksanakan pra-peradilan terhadapnya, hal ini dikarenakan pra-peradilan yang dimaksud dalam KUHAP maupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ialah pra-peradilan dapat dilaksanakan untuk upaya paksa yang dilakukan Penyidik dan Penuntut Umum.en_US
dc.description.sponsorshipDosen Pembimbing Utama I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D. Dosen Pembimbing Anggota Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectDIFERENSIASI FUNGSIONALen_US
dc.subjectPROSES PENETAPAN TERSANGKAen_US
dc.subjectTINDAK PIDANAen_US
dc.subjectKEHUTANANen_US
dc.titleKarakteristik Asas Diferensiasi Fungsional Dalam Proses Penetapan Tersangka Pada Tindak Pidana Kehutananen_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.prodiIlmu Hukumen_US
dc.identifier.pembimbing1I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D.en_US
dc.identifier.pembimbing2Fiska Maulidian Nugroho, S.H., M.H.en_US
dc.identifier.validatorKacung- 23 Agustus 2023en_US
dc.identifier.finalization0a67b73d_2023_09_tanggal 29en_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record