Kepastian Hukum Terhadap Notaris Yang Diangkat Sebagai Pejabat Negara
Abstract
Keberadaan seorang notaris dirasa sangat penting dan dibutuhkan masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Karena masyarakat memerlukan seseorang yang
pendapatnya sanggup dipercaya dan tandatangan yang dibubuhkan menghasilkan
jaminan dan bukti kuat. Seseorang yang tidak berpihak dan penasihat yang tanpa
kekurangan, sehingga dapat membuat suatu perjanjian yang melindungi masyarakat
di hari-hari yang akan datang. Semua itu terdapat dalam kewajiban notaris,
mengingat notaris ialah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang undang lainnya. Dalam menjalankan tugas dan jabatannya seorang notaris harus
mengikuti atau tunduk pada aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya ditulis UUJN). Namun, mengingat
UUJN merupakan produk hukum buatan manusia sehingga tidak luput dari
kekurangan. Salah satu kekurangan dalam UUJN antara lain ialah mengenai
prosedur tata cara yang harus dilakukan oleh notaris yang diangkat sebagai pejabat
negara. Pasal 3 huruf g juncto Pasal 8 ayat (1) huruf e serta Pasal 17 ayat (1) huruf
d juncto Pasal 17 ayat (2) UUJN menghendaki notaris yang merangkap jabatan
sebagai pejabat negara harus berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
Sementara itu, di dalam Pasal 11 ayat (1) UUJN mengatur cuti untuk notaris yang
diangkat sebagai pejabat negara dan Pasal 25 ayat (3) UUJN mengatur penunjukan
notaris pengganti serta Pasal 32 ayat (1) UUJN menjelaskan bahwa notaris yang
menjalankan cuti wajib menyerahkan protokolnya kepada notaris pengganti.
Sehingga dari adanya aturan pemberhentian dan cuti untuk notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara terlihat timbulnya inkonsistensi antarpasal dalam UUJN dan
prosedur cuti notaris dengan menunjuk notaris pengganti serta menyerahkan
protokolnya dapat dikatakan tindakan rangkap jabatan.
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat 3 (tiga) permasalahan yang akan
dibahas. Pertama, apa makna kata berhenti dan cuti untuk notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara menurut UUJN. Kedua, apakah notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara dapat menjadi seorang notaris kembali. Ketiga, bagaimana
konsep peraturan hukum ke depan terhadap notaris yang diangkat sebagai pejabat
negara. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini ialah yuridis empiris.
Artinya, penelitian ini di samping menggunakan metode ilmu pengetahuan juga
melihat kenyataan di lapangan, khususnya dalam ketentuan bagi notaris yang
diangkat sebagai pejabat negara. Pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan sejarah.
Untuk bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
sekunder.
Hasil kajian yang diperoleh pertama, makna kata berhenti yang diberikan
kepada notaris di dalam UUJN mengartikan bahwa berakhirnya notaris dalam
menjalankan kewenangan yang disebabkan habisnya waktu yang ditentukan dalam
surat keputusan. Pemberhentian dengan hormat diberikan kepada notaris salah
satunya karena merangkap jabatan sebagai pejabat negara. UUJN mengatur notaris
yang diangkat sebagai pejabat negara agar tidak dikatakan merangkap jabatan maka
yang bersangkutan harus cuti dari jabatannya sebagai notaris. Ketentuan cuti berarti
seorang notaris boleh meninggalkan jabatannya untuk beberapa waktu saja. Kedua,
berdasarkan hasil penelitian di lapang menghendaki prosedur cuti untuk notaris
yang diangkat sebagai pejabat negara dengan menunjuk notaris pengganti dan
menyerahkan protokolnya kepada notaris pengganti tersebut sehingga dengan
demikian ketika notaris yang cuti telah usai menjadi pejabat negara ia dapat menjadi
seorang notaris kembali. Ketiga, prosedur cuti untuk notaris yang diangkat sebagai
pejabat negara dengan menunjuk notaris pengganti serta menyerahkan protokol
kepada notaris pengganti berdasarkan beberapa alasan akan menyebabkan dan
beresiko terjadi perangkapan jabatan. Untuk menghindari perangkapan jabatan
maka terdapat 2 jalan tengah yang dapat diambil oleh notaris yang diangkat sebagai
pejabat negara ialah tetap menerapkan cuti namun tanpa notaris pengganti dan
memberikan dengan penuh kepercayaan protokol notaris kepada notaris lain
sebagai pemegang protokol sementara. Jalan tengah kedua pemberhentian atau
diberhentikannya seorang notaris dari jabatannya. Artinya, untuk ke depan yang
berlaku untuk notaris yang diangkat sebagai pejabat negara hanya pasal yang
mengatakan pemberhentian jika notaris merangkap jabatan sebagai pejabat negara
dan menghapuskan pasal yang mengatur cuti untuk notaris jika diangkat sebagai
pejabat negara.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran dan rekomendasi diuraikan
berikut ini. Pertama, berdasarkan makna kata berhenti dan cuti menandakan bahwa
Pasal 17 ayat (1) huruf d juncto Pasal 17 ayat (2) huruf c merupakan akibat atau
konsekuensi tidak dilaksanakannya Pasal 11 ayat (1) UUJN, yang artinya bahwa
apabila notaris yang diangkat sebagai pejabat negara tidak mengambil cuti maka ia
dianggap telah merangkap jabatan dan harus diberhentikan. Oleh karena itu,
berdasarkan aturan yang ada saat ini untuk notaris yang memilih menjadi pejabat
negara lebih baik mengikuti aturan dalam UUJN yakni mengambil prosedur cuti.
Kedua, dengan adanya prosedur cuti yang dianggap menimbulkan rangkap jabatan
perlu dikaji ulang terkait aturan di dalam UUJN yang mengatakan bahwa notaris
yang diangkat sebagai pejabat negara wajib mengambil cuti dengan mengajukan
notaris pengganti dan menyerahkan protokolnya kepada notaris pengganti. Yang
jelas prosedur yang ditetapkan haruslah prosedur yang bertujuan untuk menghindari
rangkap jabatan. Ketiga, untuk menghindari rangkap jabatan sebaiknya bagi notaris
yang menjadi pejabat negara hanya diberlakukan ketentuan cuti tanpa notaris
pengganti yang artinya pasal yang mengatur notaris pengganti hanya berlaku untuk
cuti selain karena menjadi pejabat negara atau diberlakukan pemberhentian yakni
Pasal 3 huruf g juncto Pasal 8 ayat 1 huruf e serta Pasal 17 ayat (1) huruf d juncto
Pasal 17 ayat (2) huruf c. Dan lebih baik dihapusnya dari UUJN Pasal 11 ayat (1)
yang mengatur cuti.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]