PRINSIP-PRINSIP HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARI`AH
Abstract
Salah satu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari`ah yang merupakan lex specialis pengaturan bank
Syari`ah adalah ketentuan penggunaan jaminan dalam penyaluran pembiayaan
perbankan Syari`ah. Praktek jaminan dalam akad pembiayaan (mudharabah dan
musyarakah) dalam fiqh Islam dipandang inkonsisten terhadap prinsip akad
amanah. sehingga penggunaan jaminan dalam akad dipandang tidak sah (ghairu
shahih). Namun untuk mewujudkan prinsip kepercayaan sebagaimana fiqh
Islam,perbankan Syari`ah mengalami kesulitan, manakala pengelola dana
menyalahgunakan kepercayaan (amanah) yang diberikan, sehingga bank syari`ah
dan nasabah investor mengalami kerugian. Oleh karena itu penggunaan jaminan
dalam praktek perbankan Syari`ah, membutuhkan penelitian baik dari sisi fiqih
Islam maupun hukum positif di Indonesia, sehingga dapat menemukan prinsip
pengaturan jaminan yang dapat diterapkan pada aktivitas perbankan Syari`ah
untuk menjamin kemurnian syari`ah serta kepastian hukum.
Permasalahan penelitian ini adalah; (1) Apa Prinsip-Prinsip Hukum
jaminan dalam Perbankan Syari`ah (2) Apa ratio legis penormaan jaminan dalam
UU No.21 tahun 2008 (3) Apakah eksekusi benda jaminan dalam perbankan
Syari`ah mendasarkan pada hukum jaminan.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tiga pendekatan; (1)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach); (2) Pendekatan konseptual
(conceptual approach); dan (3) Pendekatan perbandingan (comparative
approach). Sumber bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum
primer (al-Qur`an, hadist, undang-undang dan peraturan-peraturan hukum) dan
bahan hukum sekunder (kitab fiqh Islam, buku teks, pendapat para ahli hukum,
jurnal hukum). Metode analisa penelitian ini dilakukan secara deduktif dengan
menggunakan logika hukum, argumentasi hukum, kemudian dianalisis secara
preskriptif.
Kesimpulan dari penelitian ini : pertama, (a). Bahwa jaminan dalam
hukum Islam rahn dan kafalah memiliki banyak kesamaan dengan jaminan dalam
perundang-undangan di Indonesia, (b) Prinsip-prinsip hukum jaminan dalam
Islam antara lain Mabda` al-milkul mutlaq/prinsip absolut, Mabda` alimtiyaz/
prinsip prefren, Mabda` faktubulah/prinsip publisitas, Mabda` mamluk lil
rahin/prinsip spesialitas dan Mabda` al-qabth/prinsip inbeezittsteling,dan
memiliki kesamaan dengann hukum jaminan positif (c). Akad mudharabah
merupakan al-aqd al-ashli sebab menimbulkan hak dan kewajiban bagi bank
Syari`ah dan mudharib, mengingat akad pembiayaan ini memiliki resiko tinggi,
maka bank syari`ah harus melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential
principle). (d). Perjanjian jaminan dalam perbankan syari`ah merupakan al-aqd
at-tabi` (perjanjian tambahan) mengingat pembiayaan mudharabah beresiko
tinggi, maka diperbolehkan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagaimana fatwa
DSN MUI dan ketentuan UU No. 21 tahun 2008.
Kedua, (a). fatwa MUI dapat dijadikan ijma` (kebulatan pendapat para
fuqaha/ahli hukum Islam) atau Lembaga Ijma` Ulama` Indonesia, yang dapat
dijadikan sumber dalam penetapan norma-norma hukum Islam di Indonesia; (b).
Bahwa kedudukan dan kewengan fatwa DSN MUI tidak diatur dalam UU No.12
tahun 2011, tetapi diberi keweangan khusus melalui pasal 1 ayat (12) dan 26 ayat
(1) –(5) UU No. 21 tahun 2008, sehingga fatwa DSN MUI dapat mengikat jika
telah menjadi hukum positif yaitu Peraturan bank Indonesia atau Undang-Undang;
(c). Bahwa dasar pertimbangan penormaan jaminan dalam pasal 1 ayat (26), dan
pasal 23 ayat (1) dan (2), pasal 40 ayat (1) - (4) UU No.21 tahun 2008, didasarkan
fatwa DSN MUI No. 07/ DSN-MUI/IV/2000 tentang mudharabah (d) Bahwa
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan (agunan) dalam
perbankan Syari`ah adalah UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari`ah, Peraturan Bank Indonesia dan KUH Perdata.
Ketiga, (a). Bahwa sehingga Bank Syari`ah dalam pengikatan jaminan
dapat menggunakan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang
jaminan. Jaminan dalam akad mudhrabah berdasarkan teori istislah
diperbolehkan bertujuan untuk melindungi dana masyarakat dari nasabah
penerima fasilitas yang tidak bertanggung jawab sehingga dapat diikat melalui
lembaga hak jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia. (b). Bahwa
pengikatan jaminan dalam akad mudharabah pada bank Syari`ah dilakukan
dengan pengikatan Hak Tanggungan jika obyek jaminannya berupa tanah, dan
fidusia jika benda bergerak sehingga tata cara dalam pengikatannya sesuai dengan
ketentuan masing lembaga hak jaminan tersebut.(c). Bahwa mudharib dianggap
iftiradh (wanprestasi) apabila telah melakukan pelanggaran (ta`addi) terhadap isi
akad, lalai (taqhsir) dalam melaksanakan isi akad, dan menyalahi kesepakatan
yang telah ditentukan (mukhalafatu al-Syurut), dan bank syari`ah dapat menuntut
ganti rugi atas akad pembiayaan tersebut (d). Bahwa eksekusi obyek hak
tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara; Eksekusi Penjualan dibawah
tangan, Eksekusi Berdasarkan atas Kekuasaan Sendiri (Parate Eksekusi) dan
Eksekusi Berdasarkan Sertifikat Hak tanggungan (Titel Eksekutorial).
Collections
- MT-Science of Law [334]