Kewenangan Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Dalam Membangun Peradilan Berwibawa dan Bermartabat
Abstract
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang terbentuk atas dasar Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ketiga pada tahun 2001 yang
tertuang pada pasal 24B, sebagai dampak politik pasca amandemen. Didorong oleh alasan
tidak efektifnya pengawasan internal yang terdapat di setiap badan peradilan. Dengan alasan
itu maka lembaga tersebut dibekali beberapa kewenangan konstitutif, antara lain untuk
mengusulkan pengangkatan hakim, dan melakukan pengawasan pelaksanaan kode etik
hakim. Maka dari uraian tersebut penulis merumuskan kedalam dua (2) rumusan yang akan
dibahas, antara lain: 1) Bagaimanakah ketentuan yuridis terkait kewenangan Komisi Yudisial
sebagai lembaga eksternal pengawas hakim ? 2) Apakah kewenangan Komisi Yudisial dapat
mewujudkan peradilan menuju kearah berwibawa dan bermartabat ?
Tujuan dari penulisan skripsi ini ada dua, antara lain: untuk mengetahui ketentuan
Yuridis mengenai pengawasan yang dilakukan oleh lembaga ini terhadap hakim
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan untuk mengetahui
seberapa jauh peranan lembaga Komisi Yudisial dalam rangka meningkatkan wibawa dan
martabat peradilan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
yuridis normative. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).
Hasil dari penelitian tersebut adalah Komisi Yudisial memiliki wewenang dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, perilaku, keluhuran
martabat hakim. Lembaga ini, merupakan lembaga independen (mandiri), tetapi diwajibkan
untuk membuat laporan tahunan disertai dengan pembukaan informasi secara akurat dan
lengkap sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap public melalui Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.
Lembaga ini juga dapat menjadikan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap
sebagai objek analisis untuk dijadikan dasar rekomendasi mutasi hakim, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Wewenang yang melekat pada lembaga ini tentunya menjadi penunjang demi memenuhi
syarat Negara Hukum yaitu pengadilan yang tidak berpihak, netral, kepastian hukum, dan
keadilan bagi seluruh kalangan. Bila diamati dari segi kewenangannya, lembaga ini besar
kemungkinan untuk mampu menunjang atau berkontribusi besar bagi penegakkannya, namun
karena sifatnya yang eksternal dari lembaga peradilan, tentunya beberapa hal seperti
rekrutmen hakim agung masih membutuhkan persetujuan dari lembaga legislatif.
Saran yang diberikan penulis antara lain, sinergi antara lembaga ini dengan
Mahkamah Agung perlu diperluas yaitu melibatkan lembaga ini dalam rekrutmen hakim di
lembaga dibawah naungan Mahkamah Agung, kemudian meningkatkan koordinasi dengan
Mahkamah Kehormatan Hakim, dan memperkuat status lembaga ini, serta mengupayakan
Mahkamah Kehormatan Hakim menjadi Pengadilan Etika Hakim. Dengan memperluas
keterlibatan lembaga ini pada proses pencalonan hakim di lembaga dibawah naungan
Mahkamah Agung dapat menjadi cara preventif untuk meningkatkan kapasitas kualitas hakim
yang akan mengemban tugas sebagai pengadil di masing-masing pengadilan, sekaligus
menambah kontribusi lembaga ini. Sedangkan untuk mengubah MKH menjadi Pengadilan
Etika Hakim bukanlah perkara mudah karena masuk ke ranah legislatif, walaupun bukan
tidak mungkin hal ini dapat diwujudkan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]