Show simple item record

dc.contributor.authorUMAIRY, Adib Kamali
dc.date.accessioned2019-10-25T06:42:40Z
dc.date.available2019-10-25T06:42:40Z
dc.date.issued2019-07-17
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/93720
dc.description.abstractLatar belakang dari penulisan skripsi ini adalah mengenai Pasal 53 ayat (3) UU AP yang menyebutkan mengenai fiktif positif bahwa ketika permohonan tidak direspon oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu tertentu maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum, pada Pasal 53 ayat (4) nya disebutkan masih memerlukan pengajuan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Namun adanya Pasal 17 Perma No. 8 Tahun 2017 yang menyebutkan mengenai amar putusan permohonan fiktif positif ke PTUN dapat berupa tidak diterima, mengabulkan, menolak permohonan pemohon, ataupun menyatakan permohonan gugur. frasa “dianggap dikabulkan secara hukum” yang menimbulkan konsekuensi bahwa akibat hukum yang timbul atas tindakan faktual Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang tidak menindaklanjuti permohonan administrasi negara tersebut merupakan pengabulan, sehingga tidak harusnya apa yang dikabulkan menurut undang-undang dapat tidak diterima, menolak dan gugur oleh Perma No.8 Tahun 2017. Disamping itu pada Pasal 18 Perma 8/2017 menyebutkan bahwa putusan pengadilan atas permohonan keputusan fiktif positif bersifat final dan mengikat Sehingga menutup adanya kesempatan untuk melakukan upaya hukum banding dan kasasi, lalu bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak atau pihak ketiga sebagai pencari keadilan yang tidak puas dan dirugikan akibat putusan PTUN dalam permohonan fiktif positif tersebut, ditambah pada Pasal 11 ayat (4) Perma 8/2017 juga menutup adanya pihak intervensi, selain itu pengaturan prinsip fiktif positif dalam UU AP tidak memberikan pengecualian atau pembatasan terhadap penerapan fiktif positif sehingga seakan-akan segala urusan pemerintah dapat menerapkan prinsip ini. Tujuan dari penelitian skripsi ini yang hendak dicapai ialah untuk Mengkaji frasa yang dimuat didalam Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengenai penerimaan permohonan dan pengabulan permohonan Keputusan Fiktif Positif serta jenis amar putusan permohonan fiktif positif pada Pasal 17 PermaNo. 8 Tahun 2017. Yang kedua Mengkaji mengenai permohonan yang menerapkan prinsip keputusan fiktif positif, Dan ketiga Mengkaji mengenai pembatasan upaya hukum dalam putusan pengadilan atas permohonan keputusan fiktif positif. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (Conseptual Approach), pendekatan kasus (Conseptual Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun kesimpulan Pertama yakni fiktif positif merupakan kebalikan dari fiktif negatif, fiktif positif di anut pada UU AP dan mengganti Fiktif Negatif yang terdapat dalam UU PTUN, fiktif positif yang berarti dianggap dikabulkan secara hukum dan fiktif negatif yang berarti dianggap ditolak, fiktif positif yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (3) UUAP secara tegas disebutkan menggunakan frasa “dianggap dikabulkan secara hukum” yang berarti permohonan pemohon yang tidak direspon hingga pada waktu yang telah tentukan dalam undang-undang tersebut maka sama saja dengan keputusan dikabulkan, namun tentu surat keputusan tersebut tidak terdapat dalam bentuk tertulis, maka disebutkan dalam ayat 4 pemohon masih perlu mengajukan permohonannya kepada PTUN untuk mendapatkan putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut. Adanya Pasal 17 Perma No. 8 tahun 2017 tidak seharusnya mengatur tentang kemungkinan penolakan permohonan fiktif positif karena bertentangan frasa yang dimuat UU AP tersebut dan secara hierarki Perma dibawah undangundang. Kesimpulan yang kedua bahwa pengaturan pada Pasal 53 UU AP tidak mengatur secara tegas untuk permohonan dalam urusan seperti apa, luasnya penerapan prinsip serta pengaturan yang cukup sederhana mengenai fiktif positif berpotensi merugikan pihak lainnya, mengganggu keamanan, ketertiban dan merusak lingkungan serta munculnya tumpang tindih peraturan perundangundangan. Termasuk kasus permohonan pencabutan izin oleh LBH yang menggunakan dalih fiktif positif sebelum adanya Perma yang mengatur kriteria permohonan dalam Pasal 3 ayat (2) Perma No. 8 Tahun 2017 mengenai kriteria Permohonan fiktif positif yang salah satunya untuk keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan pejabat pemerintahan yang pembatasan tersebut justru seharusnya ditegaskan dalam Undang-Undang itu sendiri. Kemudian kesimpulan ketiga yakni Hak upaya hukum merupakan hak yang harus dilindungi dan diberikan kesempatan bagi pihak yang dirugikan terutama bagi pihak ketiga. Perlunya pengaturan ruang-ruang tersebut menjadi cara masuk pencari keadilan untuk dapat memperjuangkan keadilan dan memperoleh haknya. hak upaya hukum muncul sebagai konsekuensi dari adanya asas hukum res judicate pro veritate habeteur (putusan hakim selalu dinggap benar sampai terdapat putusan oleh hakim lain yang mengoreksinya). asas yang kemudian melahirkan penggolongan yang disebut judex facti pada hakim di tingkat pertama dan tingkat banding, dan disebut judex juris pada hakim yang berada di tingkat Mahkamah agungen_US
dc.language.isootheren_US
dc.subjectUpaya Hukumen_US
dc.subjectPutusan Pengadilanen_US
dc.subjectTata Usaha Negaraen_US
dc.subjectFiktif Positifen_US
dc.titlePembatasan Upaya Hukum Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Mengabulkan Permohonan Keputusan Fiktif Positifen_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record