Pembatasan Upaya Hukum Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Mengabulkan Permohonan Keputusan Fiktif Positif
Abstract
Latar belakang dari penulisan skripsi ini adalah mengenai Pasal 53 ayat (3)
UU AP yang menyebutkan mengenai fiktif positif bahwa ketika permohonan tidak
direspon oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu tertentu maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum, pada Pasal 53 ayat (4)
nya disebutkan masih memerlukan pengajuan permohonan kepada pengadilan
untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Namun adanya Pasal 17
Perma No. 8 Tahun 2017 yang menyebutkan mengenai amar putusan permohonan
fiktif positif ke PTUN dapat berupa tidak diterima, mengabulkan, menolak
permohonan pemohon, ataupun menyatakan permohonan gugur. frasa “dianggap
dikabulkan secara hukum” yang menimbulkan konsekuensi bahwa akibat hukum
yang timbul atas tindakan faktual Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang tidak
menindaklanjuti permohonan administrasi negara tersebut merupakan pengabulan,
sehingga tidak harusnya apa yang dikabulkan menurut undang-undang dapat tidak
diterima, menolak dan gugur oleh Perma No.8 Tahun 2017. Disamping itu pada
Pasal 18 Perma 8/2017 menyebutkan bahwa putusan pengadilan atas permohonan
keputusan fiktif positif bersifat final dan mengikat Sehingga menutup adanya
kesempatan untuk melakukan upaya hukum banding dan kasasi, lalu bagaimana
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak atau pihak ketiga sebagai
pencari keadilan yang tidak puas dan dirugikan akibat putusan PTUN dalam
permohonan fiktif positif tersebut, ditambah pada Pasal 11 ayat (4) Perma 8/2017
juga menutup adanya pihak intervensi, selain itu pengaturan prinsip fiktif positif
dalam UU AP tidak memberikan pengecualian atau pembatasan terhadap
penerapan fiktif positif sehingga seakan-akan segala urusan pemerintah dapat
menerapkan prinsip ini.
Tujuan dari penelitian skripsi ini yang hendak dicapai ialah untuk
Mengkaji frasa yang dimuat didalam Pasal 53 Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan mengenai penerimaan permohonan dan pengabulan permohonan
Keputusan Fiktif Positif serta jenis amar putusan permohonan fiktif positif pada
Pasal 17 PermaNo. 8 Tahun 2017. Yang kedua Mengkaji mengenai permohonan
yang menerapkan prinsip keputusan fiktif positif, Dan ketiga Mengkaji mengenai
pembatasan upaya hukum dalam putusan pengadilan atas permohonan keputusan
fiktif positif.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian
yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan yakni pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (Conseptual
Approach), pendekatan kasus (Conseptual Approach). Sumber bahan hukum yang
digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Adapun kesimpulan Pertama yakni fiktif positif merupakan kebalikan dari
fiktif negatif, fiktif positif di anut pada UU AP dan mengganti Fiktif Negatif yang
terdapat dalam UU PTUN, fiktif positif yang berarti dianggap dikabulkan secara
hukum dan fiktif negatif yang berarti dianggap ditolak, fiktif positif yang terdapat
dalam Pasal 53 ayat (3) UUAP secara tegas disebutkan menggunakan frasa
“dianggap dikabulkan secara hukum” yang berarti permohonan pemohon yang
tidak direspon hingga pada waktu yang telah tentukan dalam undang-undang
tersebut maka sama saja dengan keputusan dikabulkan, namun tentu surat
keputusan tersebut tidak terdapat dalam bentuk tertulis, maka disebutkan dalam
ayat 4 pemohon masih perlu mengajukan permohonannya kepada PTUN untuk mendapatkan putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tersebut. Adanya Pasal 17 Perma No. 8 tahun 2017 tidak seharusnya mengatur
tentang kemungkinan penolakan permohonan fiktif positif karena bertentangan
frasa yang dimuat UU AP tersebut dan secara hierarki Perma dibawah undangundang.
Kesimpulan yang kedua bahwa pengaturan pada Pasal 53 UU AP tidak
mengatur secara tegas untuk permohonan dalam urusan seperti apa, luasnya
penerapan prinsip serta pengaturan yang cukup sederhana mengenai fiktif positif
berpotensi merugikan pihak lainnya, mengganggu keamanan, ketertiban dan
merusak lingkungan serta munculnya tumpang tindih peraturan perundangundangan.
Termasuk kasus permohonan pencabutan izin oleh LBH yang
menggunakan dalih fiktif positif sebelum adanya Perma yang mengatur kriteria
permohonan dalam Pasal 3 ayat (2) Perma No. 8 Tahun 2017 mengenai kriteria
Permohonan fiktif positif yang salah satunya untuk keputusan dan/atau tindakan
yang belum pernah ditetapkan pejabat pemerintahan yang pembatasan tersebut
justru seharusnya ditegaskan dalam Undang-Undang itu sendiri.
Kemudian kesimpulan ketiga yakni Hak upaya hukum merupakan hak
yang harus dilindungi dan diberikan kesempatan bagi pihak yang dirugikan
terutama bagi pihak ketiga. Perlunya pengaturan ruang-ruang tersebut menjadi
cara masuk pencari keadilan untuk dapat memperjuangkan keadilan dan
memperoleh haknya. hak upaya hukum muncul sebagai konsekuensi dari adanya
asas hukum res judicate pro veritate habeteur (putusan hakim selalu dinggap
benar sampai terdapat putusan oleh hakim lain yang mengoreksinya). asas yang
kemudian melahirkan penggolongan yang disebut judex facti pada hakim di
tingkat pertama dan tingkat banding, dan disebut judex juris pada hakim yang
berada di tingkat Mahkamah agung
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]