Kedudukan Hukum Bagi Pegawai Negeri SIpil (PNS) yang Dijadikan Istri Kedua dalam Ikatan Perkawinan Poligami Perkawindan
Abstract
Berdasarakan uraian yang telah di jelaskan dalam pembahasan, maka
dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah terucap ijab qobul (menurut
islam) namun ketika belum dicatatkan perkawinan tersebut belum sah secara
negara, adapun dalam mencatatkan perkawinan juga harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditetapkan. Adapun tidak dipenuhinya syarat kumulatif izin
perkawinan poligami, karena tidak adanya persetujuan dari istri dan tidak adanya
suatu jaminan bahwa si suami mampu bertindak adil baik lahiriah maupun
batiniah, adapun perlunya menjamin tidak hanya pada istri/istri-istrinya melainkan
juga menjamin keperluan-keperluan dari anaknya, dan suami juga harus mampu
berlaku adil. Oleh karena itu pengadilan agama tidak sewenang-wenang
memberikan izin untuk berpoligami, terlabih kepada seorang pegawai negeri sipil
(PNS) yang persyaratannya jauh lebih banyak lagi, termasuk adanya izin dari
atasan. Dan apabila syarat-syarat tersebut tidak di penuhi atau kurang lengkap
maka pengadilan agama tidak dapat mengabulkan izin perkawinan poligami
tersebut.
Di dalam lingkungan Peradaban Barat dan di dalam sebagian
lingkungan Peradaban Bukan Barat, perkawinan adalah disahkan secara formal
dengan undang-undang (yurisprudensi) dan kebanyakan juga secara religius;
menurut tujuan suami istri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama
hidupnya menurut pengertian dari lembaga perkawinan. Dasar-dasar dari
perkawinan ini dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan itu sendiri,
kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan kebutuhan akan kasih sayang dan
persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
dan mendidikan anak-anak tersebut untuk menjadi anggota-anggota masyarakat
yang sempurna. Bentuk tertentu dari perkawinan itu tidak diberikan oleh alam,
namun berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembaga (pranata).
Seseorang yang telah melangsungkan perkawinan telah dianggap sebagai orang
dewasa (cakap hukum), meskipun ia belum memenuhi kriteria dewasa menurut
ketentuan hukum perdata (BW) yaitu berumur 21 tahun. Orang yang telah
bercerai dan saat perceraiannya ia belum mencapai umur 21 tahun, maka ia tetap
dipandang sebagai orang dewasa dan cakap hukum.
Hakim PTA Bima dalam mempelajari fakta-fakta dalam persidangan
sebelum dan atau dalam menetapkan kebijakan penegakan hukum dalam
memberikan alternatif penyelesaian permasalahan kebutuhan dan kepastian
hukum terhadap nikah sirri melalui Itsbat nikah, karena Nikah sirri telah menjadi
pilihan bagi yang bermaksud beristeri lebih dari satu orang melalui cara
pengesahan nikah (itsbat nikah), dibandingkan dengan prosedur poligami menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini karena Hakim PTA Bima
berpendapat bahwa ada permasalahan terkait itsbat nikah yang diajukan adalah
(1) Mengenai status baru bagi isteri maupun anak hasil nikah sirri ataupun isteri
yang dinikahi secara resmi dan tercatat serta anak-anaknya sehingga Hakim perlu
memperhatikan nasib anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri atau tidak
dicatatkan, satu-satunya jalan dengan menempuh itsbat nikah sebagai solusinya;
(2) Itsbat nikah poligami dalam perkara a quo menurut pendapat Hakim tingkat
banding belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal ini,
(3) Majelis Hakim tingkat banding tidak bermaksud mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur perkawinan dengan isteri kedua tetapi apa
yang diputuskan semata-mata sebagai suatu langkah darurat sebatas untuk
melindungi status anak-anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang
menurut hukum syar’i adalah sah.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]