Akibat Hukum Perjanjian Kredit Konstruksi Dengan Jaminan Hak Guna Bangunan Karena Debitur Wanprestasi
Abstract
Rumusan masalah yang dibahas: (1) Apakah Kredit Konstruksi dengan Hak
Tanggungan Dapat Diikat Tanpa Harus Ada Peningkatan Menjadi Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT)? (2) Apa Akibat Hukum Debitur
Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Konstruksi dengan Jaminan Hak Guna
Bangunan? (3) Apa Upaya Penyelesaian yang dapat ditempuh saat Debitur
Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Konstruksi dengan Jaminan Hak
Tanggungan?.
Tujuan dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum guna untuk
meraih gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember dan tujuan
khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pengikatan hak
tanggungan pada kredit konstruksi dengan hak tanggungan tanpa harus ada
peningkatan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), untuk
mengetahui dan menganalisa akibat hukum debitur wanprestasi dalam perjanjian
kredit konstruksi dengan jaminan hak guna bangunan, untuk mengetahui dan
menganalisa upaya penyelesaian yang dapat ditempuh saat debitur wanprestasi
dalam perjanjian kredit konstruksi dengan jaminan hak tanggungan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum bersifat hukum normatif dimana peneliti menggunakan teori-teori,
peraturan perundang-undangan, serta bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan
penulisan ini. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach), dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan
hukum yang digunakan yaitu secara deduktif yaitu berpangkal dari permasalahan
yang bersifat umum sampai dengan yang bersifat khusus.
Tinjauan pustaka dari skripsi ini membahas yang pertama mengenai akibat
hukum, pengertian akibat hukum, unsur-unsur akibat hukum, bentuk-bentuk
akibat hukum. Yang kedua mengenai perjanjian, pengertian perjanjian, asas-asas
dan syarat sah perjanjian, macam-macam perjanjian. Yang ketiga mengenai
kredit, pengertian kredit, kredit konstruksi, prinsip pemberian kredit. Yang
keempat mengenai jaminan, pengertian jaminan, macam-macam jaminan. Yang
kelima mengenai wanprestasi, pengertian wanprestasi, macam-macam
wanprestasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. GM Jaya Mandiri melakukan
perpanjangan terhadap perjanjian kredit konstruksinya yang telah jatuh tempo
dengan alasan bahwa rumah yang dibangun ternyata belum selesai dan belum ada
pembelinya, sehingga PT. GM Jaya Mandiri belum bisa melunasi utangnya dan
bank menyetujui perpanjangan tersebut karena bank menilai bahwa PT. GM Jaya
Mandiri masih mempunyai potensi untuk melunasi utangnya.
Kesimpulan dari skripsi ini yang pertama adalah bahwa Berdasarkan
perjanjian kredit konstruksi pengikatan terhadap jaminan kredit yaitu 39 Sertipikat
Hak Guna Bangunan atas nama PT. GM Jaya Mandiri yang menjadi obyek dari
hak tanggunan ini cukup dipasang SKMHT tidak harus dilakukan peningkatan
menjadi APHT dan tetap berlaku sampai berakhirnya perjanjian pokok kredit.
Tujuan dasar tidak dilakukan peningkatan sampai tingkat APHT karena apabila
sertifikat Hak Guna Bangunan dipasang Hak Tanggungan, maka harus dihapus
hak tanggungannya sebelum direalisasikan, dan biaya peningkatan sampai tingkat
APHT dirasa sangat mahal oleh debitur. Kedua, Akibat hukum yang diterima oleh
debitur wanprestasi dalam perjanjian kredit konstruksi dengan jaminan hak guna
bangunan yaitu, debitur yang terlambat berprestasi maka debitur wajib membayar
bunga dan denda yang timbul karena keterlambatan pelunasan utang yang sesuai
dengan yang dicantumkan dalam klausul perjanjian kredit pasal 2 angka (1) yaitu
debitur dikenakan denda sebesar 13% pa. adjustable rate dan denda sebesar 2,00%
(dua persen) diatas suku bunga yang berlaku dihitung dari saldo tunggakan.
Ketiga, Upaya penyelesaian secara internal oleh kreditur yaitu kreditur dapat
melakukan penjadwalan kembali dari perjanjian kredit, persyaratan kembali,
penataan kembali sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1 Angka 23 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005. Upaya penyelesaian secara eksternal dapat
dilakukan dengan cara Parate eksekusi sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang
Hak Tanggungan, eksekusi sertifikat hak tanggungan sesuai dengan pasal 20
Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjualan dibawah tangan sesuai dengan
pasal 20 ayat (2) dan ayat (3). Umumnya yang sering dilakukan oleh kreditur
yaitu dengan pelelangan umum obyek hak tanggungan dengan pengajuan ke balai
lelang.
Saran dari skripsi ini adalah Hendaknya debitur yang mengambil kredit
konstuksi, pembebanan hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan cukup
dengan dipasang SKMHT tanpa perlu ditingkatkan menjadi APHT. Hendaknya
debitur harus lebih memperhatikan isi-isi pasal perjanjian kredit, supaya tidak
terjadi hal-hal yang menyebabkan wanprestasi dan debitur harus siap bertanggung
jawab atas kredit yang diambilnya. Hendaknya kreditur lebih teliti dalam
pemberian kredit terhadap debitur.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]