Show simple item record

dc.contributor.advisorMardi Handono
dc.contributor.advisorPratiwi Puspitho
dc.contributor.authorSIHITE, EUDIA MARSINTAULINA
dc.date.accessioned2019-05-23T05:37:23Z
dc.date.available2019-05-23T05:37:23Z
dc.date.issued2019-05-23
dc.identifier.nim130710101036
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/90960
dc.description.abstractSisi positif dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah untuk menghindari terjadinya zina atau mudharat. Perkawinan yang tidak dicatatkan juga memiliki sisi negatif. Perkawinan yang tidak dicatatkan memberikan dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan di anggap sebagai anak yang tidak sah. Hal tersebut membuat anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu saja, namun tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya. Selain itu juga akta kelahiran yang didapat anak adalah akta anak luar kawin yang didalam akta tersebut hanya terdapat nama ibu saja. Hal tersebut tentunya memiliki dampak psikologis bagi pertumbuhan anak yang bersangkutan. Perkawinan siri adalah perkawinan yang masih banyak diminati dan dilangsungkan di Indonesia ini di balik sisi negatif dan positif yang ada. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) Bagaimana keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan dalam hukum perkawinan di Indonesia ? (2) Bagaimana status hukum anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam ? Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif. Guna menarik kesimpulan dari hasil penelitian dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif. Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti, bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan. Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu ; perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama. Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak. Saran yang dapat diberikan bahwa, Hendaknya masyarakat dapat melakukan perkawinan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan undang-undang perkawinan. Dengan adanya perkawinan yang sah dan dicatatkan maka akan membawa konsekwensi hukum bahwa perkawinan tersebut adalah sah berikut juga dengan anak yang dilahirkan melalui proses pencatatan perkawinan sebagai bentuk tertib administrasi. Hendaknya pemerintah dapat memberikan sosialisasi mengenai rukun dan syarat sahnya perkawinan dalam masyarakat sehingga dapat terwujudnya kepastian hukum dalam suatu perkawinan. Sosialisasi dalam hal ini diarahkan khususnya kepada masyarakat di pedesaan yang sering terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan hal yang harus diwujudkan oleh kita bersama. Salah satu bentuk perlindungan anak adalah dengan mewujudkan kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak merupakan suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Perlindungan hukum terhadap anak selain disebutkan dalam Pasal 34 Undang Undang Dasar 1945 juga tersirat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Bentuk perlindungan anak tersebut salah satunya dengan memberikan kejelasan status hukum terhadap anak dari adanya perkawinan yang tidak dicatetkanen_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectANAKen_US
dc.subjectPERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKANen_US
dc.subjectHUKUM ISLAMen_US
dc.titleStatus Hukum Anak dari Perkawinan yang tidak dicatatkan di Tinjau dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islamen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record