Status Hukum Anak dari Perkawinan yang tidak dicatatkan di Tinjau dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam
Abstract
Sisi positif dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah untuk menghindari
terjadinya zina atau mudharat. Perkawinan yang tidak dicatatkan juga memiliki sisi
negatif. Perkawinan yang tidak dicatatkan memberikan dampak negatif bagi status
anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan di anggap sebagai
anak yang tidak sah. Hal tersebut membuat anak hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu saja, namun tidak memiliki hubungan
hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya. Selain itu juga akta kelahiran yang
didapat anak adalah akta anak luar kawin yang didalam akta tersebut hanya terdapat
nama ibu saja. Hal tersebut tentunya memiliki dampak psikologis bagi
pertumbuhan anak yang bersangkutan. Perkawinan siri adalah perkawinan yang
masih banyak diminati dan dilangsungkan di Indonesia ini di balik sisi negatif dan
positif yang ada. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah : (1) Bagaimana
keabsahan perkawinan yang tidak dicatatkan dalam hukum perkawinan di
Indonesia ? (2) Bagaimana status hukum anak dari perkawinan yang tidak
dicatatkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Hukum Islam ? Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan
tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan
undang-undang dan pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Analisa bahan penelitian
dalam skripsi ini menggunakan analisis normatif kualitatif. Guna menarik
kesimpulan dari hasil penelitian dipergunakan metode analisa bahan hukum
deduktif.
Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa, Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Hal ini berarti, bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Perkawinan, tentang pencatatan
perkawinan. Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang
Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu ;
perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan
oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama. Artinya kalau
perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa
memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian
juga sebaliknya. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja
dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat
merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah
ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup
bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai
hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak. Saran yang dapat diberikan bahwa, Hendaknya masyarakat dapat
melakukan perkawinan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan
undang-undang perkawinan. Dengan adanya perkawinan yang sah dan dicatatkan
maka akan membawa konsekwensi hukum bahwa perkawinan tersebut adalah sah
berikut juga dengan anak yang dilahirkan melalui proses pencatatan perkawinan
sebagai bentuk tertib administrasi. Hendaknya pemerintah dapat memberikan
sosialisasi mengenai rukun dan syarat sahnya perkawinan dalam masyarakat
sehingga dapat terwujudnya kepastian hukum dalam suatu perkawinan. Sosialisasi
dalam hal ini diarahkan khususnya kepada masyarakat di pedesaan yang sering
terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan. Perlindungan hukum terhadap anak
merupakan hal yang harus diwujudkan oleh kita bersama. Salah satu bentuk
perlindungan anak adalah dengan mewujudkan kesejahteraan anak. Kesejahteraan
anak merupakan suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Perlindungan hukum terhadap anak selain disebutkan dalam Pasal 34 Undang
Undang Dasar 1945 juga tersirat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Bentuk perlindungan anak tersebut salah satunya dengan
memberikan kejelasan status hukum terhadap anak dari adanya perkawinan yang tidak dicatetkan
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]