dc.description.abstract | Kepala Daerah memiliki peran strategis dalam upaya pencapaian tujuan
pembangunan di daerah. Maka diperlukan pemimpin dan kepemimpinan dengan
kualitas memadai. Tetapi faktanya banyak permasalahan muncul di ranah hukum
dan etika. Salah satunya adalah perkawinan siri kepala daerah. Berdasarkan uraian
tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui, membahas, serta
memahaminya dalam suatu karya tulis berbentuk skripsi dengan judul:
“PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DALAM HAL PELANGGARAN
KODE ETIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN
2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”.
Berdasarkan hal tersebut dalam skripsi ini penulis merumuskan rumusan
masalah apakah perkawinan kepala daerah yang tidak mendapat persetujuan istri
pertama merupakan pelanggaran kode etik dan bagaimanakah mekanisme
pemberhentian kepala daerah yang melanggar kode etik ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk menganalisis
maksud dari permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini.
Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian yang
bersifat yuridis normatif (legal research), yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang
berlaku. Adapun pendekatan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach). Pada bahan hukum, penulis menggunakan tiga jenis bahan hukum,
antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.
Sedangkan pada analisis bahan hukum, penulis menggunakan metode deduksi
yaitu berpedoman dari prinsip-prinsip dasar kemudian menghadirkan objek yang
hendak diteliti.
Adapun kesimpulan pada skripsi ini antara lain: 1) Perkawinan seorang
Kepala Daerah tanpa persetujuan istri sebelumnya merupakan pelanggaran etika
dan pelanggaran terhadap hukum perkawinan. Adapun kewajiban kepala daerah
xiv
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2008 tentang Pemerintahan daerah. Dalam Pasal 27 ayat (1) huruf f dengan tegas
disebutkan bahwa kewajiban kepala daerah yaitu menjaga etika dan norma dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Etika dan norma yang dimaksud disini
tentu bukan hanya dalam penyelenggaraan pemerintahan namun juga etika dan
norma kepala daerah dalam kehidupan sehari-hari. 2) Untuk pelanggaran kode
etik oleh Kepala Daerah, hal ini digolongkan ke dalam alasan diberhentikan
karena melanggar sumpah/janji jabatan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pemberhentian dikarenakan alasan
ini memiliki ketentuan tersendiri. Adapun mekanisme yang telah diatur adalah
sebagai berikut : a) Melalui Rapat paripurna, DPRD memutuskan apakah kepala
daerah tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah/janji jabatan, tidak
melaksanakan kewajiban dan atau melanggar larangan. Rapat paripurna DPRD ini
harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD yang hadir. b) Pendapat DPRD ini diajukan kepada
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan
DPRD itu diterima Makhamah Agung. c) Apabila Mahkamah Agung memutuskan
bahwa Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak
melaksanakan kewajiban, DPRD kembali melakukan rapat paripurna dengan
agenda usul pemberhentian kepala daerah. d) Usulan pemberhentian yang
dihasilkan dari rapat paripurna DPRD berdasarkan putusan Mahkamah Agung
diajukan kepada Presiden. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala
daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul
tersebut. | en_US |