dc.description.abstract | Putusnya perkawinan dikarenakan cerai talak tidak memutuskan
kewajiban-kewajiban serta hilangnya hak-hak yang dimiliki oleh istri. Sekalipun
di dalam petitum Pemohon hanya untuk memutuskan perkawinannya saja namun
hakim memiliki hak ex officio, karena jabatannya hakim dapat menentukan
sesuatu kewajiban kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
bagi bekas istri sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pasal 41 huruf c
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disisi lain dalam
proses pemeriksaan perkara terlebih dalam memberikan putusan seorang hakim
tidak boleh memberikan putusan lebih dari yang dituntut dalam petitum
permohonan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 178 ayat (3) HIR. Berdasarkan
uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan membahas permasalahan tersebut
dalam suatu karya ilmiyah berbentuk skripsi dengan judul: “TINJAUAN
HUKUM TERHADAP HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM CERAI TALAK
(Studi Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor : 4182/Pdt.G/2012/PA.Jr)”.
Rumusan masalah dalam skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) permasalahan yaitu,
pertama apakah hukum Islam mengatur hak istri dalam perkara cerai talak, kedua
apa pertimbangan hukum hakim dalam menerapkan hak ex officio pada putusan
Nomor 4182/Pdt.G/2012/PA.Jr dan ketiga apakah upaya yang dapat dilakukan
Termohon apabila Pemohon tidak memberikan nafkah Mut’ah.
Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis
normatif (legal research) dengan menggunakan tiga pendekatan masalah yaitu
meliputi pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach) dan Studi kasus (case study). Sedangkan sumber bahan
hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum non hukum. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan
dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas
dokumen-dokumen tidak resmi berupa buku-buku teks hukum dan tulisan-tulisan
tentang hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Bahan hukum non
hukum berupa bahan-bahan yang didapat dari internet.
xiii
Adapun kesimpulan dari penulis skripsi ini adalah hukum Islam telah
mengatur hak-hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami apabila terjadi cerai talak
sebagaimana yang telah diatur di dalam firman-firman Allah, Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sekalipun
di dalam petitum Pemohon hanya untuk memutuskan perkawinannya saja dan
Termohon tidak mengajukan gugatan rekonvensi tetapi dengan adanya hak ex
officio hakim berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan hakim dapat menentukan kewajiban kepada Pemohon
termasuk kewajiban membayar Mut’ah, dikarenakan ketentuan ini merupakan lex
specialis sehingga tidak bertentangan dengan pasal 178 ayat (3) HIR. Apabila
Pemohon tidak menjalankan putusan yang mewajibkannnya untuk membayar
Mut’ah kepada Termohon dengan jumlah tertentu maka Termohon dapat
mengajukan permohonan eksekusi yang berupa surat permohonan yang diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara.
Saran yang dapat punulis tulis dalam skripsi ini adalah dengan adanya hak
ex officio hakim berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, sebaiknya hakim menggunakannya secara optimal dalam memutus perkara
cerai talak agar hak-hak istri yang diceraikan dapat terlindungi. Selain itu
sebaiknya istri sebagai Termohon tidak menyiakan haknya dalam mengajukan
gugatan rekonvensi untuk menuntut suami (Pemohon) agar memenuhi hak-hak
istri yang diceraikan. | en_US |