Show simple item record

dc.contributor.authorNANANG FAHRUDIN
dc.date.accessioned2013-12-13T01:43:25Z
dc.date.available2013-12-13T01:43:25Z
dc.date.issued2013-12-13
dc.identifier.nimNIM060710101164
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/8775
dc.description.abstractPembatalan perkawinan merupakan akibat tidak dipenuhinya syarat dan rukun perkawinan serta tidak dipenuhinya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perkawinan. Pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 22- 28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 70 Inpres No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, batalnya suatu perkawinan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus melalui Pengadilan Agama, yang diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang diatur dalam pasal 23 dan 26 ayat (1) undangundang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak sah atau beberapa syarat dan rukun dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Jaksa sebagaimana disebut dalam pasal di atas, merupakan salah satu pihak yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan. Lalu, bagaimana kedudukan jaksa yang notabene lebih berperan dalan ranah hukum pidana dalam pembatalan perkawinan menurut undangundang dan bagaimana hukum Islam memandang hal tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka sebagai penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “KEWENANGAN JAKSA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994)”. Rumusan masalah yang dalam skripsi ini sebagai berikut, pertama Apakah jaksa berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum Islam. Kedua apakah pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan pembatalan perkawinan pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994 telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketiga, xiii apa akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan yang di ajukan permohonannya oleh jaksa. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan masalah berupa pendekatan undang-undang ( statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber bahan hukum yang di gunakan adalah sumber bahan hukum primer berupa peraturan perundangan dan putusan hakim, bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, dan bahan non hukum merupakan penunjang bagi sumber bahan hukum primer dan sekunder. Pembatalan perkawinan dapat diajukan pembatalannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 dan 26 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun, dari kedua pasal tersebut terdapat suatu perbedaan dimana dalam Pasal 26 terdapat kata jaksa sedangkan dalam Pasal 23 tidak terdapat kata jaksa. Dalam hukum islam dikenal istilah tahkim dan hakam. Namun istilah tersebut ternyata tidak menjelaskan tentang jaksa yang saat ini dikenal. Putusan Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994 yang menyatakan bahwa jaksa tidak berhak mengajukan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan secara islam tentunya bertentangan dengan isi dari Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan karena pada tingkat kasasi perkara pembatalan perkawinan ini hanya menyentuh aturan formilnya saja dan belum menyangkut pada materi pokok perkara tersebut, sedangkan akibat yang ditimbulkan terhadap pembatalan perkawinan baik yang dilakukan oleh jaksa maupun orang lain tidak mempengaruhi anak-anak yang dilahirkan. Artinya bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan tetap diakui sah sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 28 ayat (1) dan (2). Saran untuk yang akan melakukan perkawinan, hendaknya diteliti lebih dahulu apa-apa yang telah menjadi rukun dan syarat perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang dapat merusak atau membatalkan perkawinan yang telah dilangsungkan.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060710101164;
dc.subjectKEWENANGAN JAKSA, PEMBATALAN PERKAWINAN, UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINANen_US
dc.titleKEWENANGAN JAKSA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record