KEWENANGAN JAKSA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994)
Abstract
Pembatalan perkawinan merupakan akibat tidak dipenuhinya syarat
dan rukun perkawinan serta tidak dipenuhinya aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang perkawinan. Pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 22-
28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 70 Inpres
No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, batalnya
suatu perkawinan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus melalui Pengadilan
Agama, yang diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk mengajukan
pembatalan perkawinan yang diatur dalam pasal 23 dan 26 ayat (1) undangundang
perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan di
muka pegawai pencatat nikah yang tidak sah atau beberapa syarat dan rukun
dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi, dapat dimintakan pembatalannya
oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri,
jaksa dan suami atau isteri. Jaksa sebagaimana disebut dalam pasal di atas,
merupakan salah satu pihak yang berwenang mengajukan pembatalan
perkawinan. Lalu, bagaimana kedudukan jaksa yang notabene lebih berperan
dalan ranah hukum pidana dalam pembatalan perkawinan menurut undangundang
dan bagaimana hukum Islam memandang hal tersebut. Berdasarkan
uraian diatas maka sebagai penulis merasa tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “KEWENANGAN
JAKSA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN
PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No 196
K/AG/1994)”.
Rumusan masalah yang dalam skripsi ini sebagai berikut, pertama Apakah
jaksa berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Undang-
Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum Islam. Kedua apakah
pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan pembatalan perkawinan
pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994 telah sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketiga,
xiii
apa akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan yang di ajukan
permohonannya oleh jaksa.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis
normatif dengan pendekatan masalah berupa pendekatan undang-undang ( statute
approach), pendekatan konsep (conseptual approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Sumber bahan hukum yang di gunakan adalah sumber bahan hukum
primer berupa peraturan perundangan dan putusan hakim, bahan hukum sekunder
berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, dan
bahan non hukum merupakan penunjang bagi sumber bahan hukum primer dan
sekunder.
Pembatalan perkawinan dapat diajukan pembatalannya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 23 dan 26 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Namun, dari kedua pasal tersebut terdapat suatu perbedaan dimana
dalam Pasal 26 terdapat kata jaksa sedangkan dalam Pasal 23 tidak terdapat kata
jaksa. Dalam hukum islam dikenal istilah tahkim dan hakam. Namun istilah
tersebut ternyata tidak menjelaskan tentang jaksa yang saat ini dikenal.
Putusan Mahkamah Agung RI No 196 K/AG/1994 yang menyatakan
bahwa jaksa tidak berhak mengajukan pembatalan perkawinan yang
dilangsungkan secara islam tentunya bertentangan dengan isi dari Pasal 26 ayat
(1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan karena pada tingkat
kasasi perkara pembatalan perkawinan ini hanya menyentuh aturan formilnya saja
dan belum menyangkut pada materi pokok perkara tersebut, sedangkan akibat
yang ditimbulkan terhadap pembatalan perkawinan baik yang dilakukan oleh
jaksa maupun orang lain tidak mempengaruhi anak-anak yang dilahirkan. Artinya
bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan tetap diakui sah
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 28 ayat (1) dan (2).
Saran untuk yang akan melakukan perkawinan, hendaknya diteliti lebih
dahulu apa-apa yang telah menjadi rukun dan syarat perkawinan. Hal ini
dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang dapat merusak atau
membatalkan perkawinan yang telah dilangsungkan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]