TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN GADIS DIBAWAH UMUR TANPA IZIN ORANG TUA (Kajian Penetapan Pengadilan Agama Jember No. 0002/Pdt.P/2002/PA.Jr)
Abstract
Asas tentang perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 salah satunya mengatur tentang batas umur dalam melangsungkan
perkawinan yaitu bagi pria 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun. Untuk
melaksanakan perkawinan, berdasarkan Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
dari kedua orang tua. Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21
tahun tidak perlu ada izin dari orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang
perlu memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang telah
mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang telah mencapai umur 16 tahun
(Pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974). Di bawah umur tersebut berarti
belum boleh melakukan perkawinan sekalipun diizinkan orang tua.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah : Apakah anak dibawah
umur dapat bertindak sebagai pemohon dalam perkara dispensasi kawin serta
penetapan wali nikah di pengadilan. Permasalahan kedua yaitu apakah anak
dibawah umur dapat menikah tanpa izin dari orang tuanya dan bagaimana
pelaksanaannya. Dan permasalahan yang ketiga yaitu pertimbangan hukum dalam
mengabulkan permohonan pemohon dalam Penetapan Pengadilan Agama Jember
No. 0002/Pdt.P/2002/PA.Jr.
Tujuan penulis dalam pengerjaan skripsi ini yaitu mengkaji dan memahami
apakah anak dibawah umur dapat bertindak sebagai pemohon dalam perkara
dispensasi kawin serta penetapan wali nikah di pengadilan dan untuk mengkaji
dan memahami apakah anak dibawah umur dapat menikah tanpa izin dari orang
tuanya dan bagaimana pelaksanaannya serta untuk mengkaji dan memahami
bagaimana pertimbangan hukum hakim untuk mengabulkan permohonan
pemohon dalam Penetapan Pengadilan Agama Jember No. 0002/Pdt.P/2002/PA.Jr
Penulisan skripsi ini, menggunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis
normatif serta menggunakan beberapa metode pendekatan yaitu menggunakan
metode pendekatan undang-undang (statute approach), Pendekatan Konseptual
xiv
(conceptual approach) dan menggunakan studi kasus (case approach). Sedangkan
untuk bahan hukum, penulis menggunakan 3 (tiga) yaitu, bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Analisa yang digunakan dalam
penulisan ini yaitu metode deduktif.
Adapun hasil dari penulisan ini anak dibawah umur dapat bertindak sebagai
pemohon dalam perkara dispensasi kawin serta penetapan wali nikah di
pengadilan tanpa diwakili oleh orang tuanya. Batasan umur dewasa yang biasanya
dijadikan parameter untuk menentukan seseorang cakap bertindak secara hukum
mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Hakim tidak boleh menolak jika anak dibawah umur untuk
mengajukan permohonan dispensasi kawin serta penetapan wali nikah. Untuk
menghindari kebuntuan hukum dan memberi jalan keluar untuk si gadis, maka
dengan mengesampingkan ketentuan Undang-Undang untuk mengejar
kemanfaatan sesuai dengan tujuan hukum maka hakim harus membuat terobosan
hukum. Yang kedua, anak dibawah umur dapat menikah tanpa izin dari orang tua.
Apabila calon mempelai ingin melaksanakan perkawinan jika umur salah satu
atau kedua calon mempelainya di bawah ketentuan yang dibolehkan Undang-
Undang Perkawinan maka untuk melaksanakan hal tersebut kedua orang tua lakilaki
maupun kedua orang tua perempuan dapat meminta dispensasi atas ketentuan
umur kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan
Negeri bagi yang non Islam sesuai dengan wilayah tempat tinggal pemohon.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk melangsungkan
perkawinan seseorang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin dari
orang tua, wali atau orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas. Pengadilan dapat memberikan izin menikah setelah mendengar
pendapat dari orang tua. Seperti disebutkan pada pasal 6 ayat (2) dan (5) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan yang ketiga, pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan pemohon dalam penetapan Pengadilan Agama Jember
nomor 0002/Pdt.P/2002/PA.Jr antara lain dengan mendengar kesaksian para saksi
dari pihak pemohon, Pengadilan Agama telah membaca surat-surat yang
dilampirkan pada surat permohonan, sesuai ketentuan pasal 2 ayat (3) Peraturan
xv
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. Walaupun menurut
ketentuan Pasal 47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan, bagi anak yang belum dewasa (belum berumur 18 tahun) adalah
orang tuanyalah yang mewakilinya didalam dan diluar pengadilan, namun dalam
perkara Aquo ketentuan tersebut tidak mungkin diterapkan secara tekstual kecuali
harus dipahami secara bersama-sama dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) Peraturan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, keduanya telah memenuhi unsur kafa’ah,
berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas, majelis berpendapat bahwa
permohonan pemohon adalah beralasan menurut hukum dan oleh karena itu dapat
dikabulkan. Ayah pemohon sebagai wali nasab telah dinyatakan adhal, maka
sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama
Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim Jo pasal 23 ayat (1) dan (2) Kompilasi
Hukum Islam, Karena pemohon belum berusia 16 tahun, dengan menunjuk pada
pertimbangan sebagaimana telah terurai diatas, dan juga ketentuan pasal 7 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, dalam hal adanya penyimpangan
maka untuk kemaslahatan pemohon, sehingga kepadanya sekaligus harus diberi
dispensasi untuk menikah walau usianya belum mencapai 16 tahun.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberi saran yaitu
Ketentuan hukum yang terkait dengan perkawinan perlu dipatuhi oleh semua
pihak, baik oleh orang tua sebagai pemegang kekuasaan orang tua / wali maupun
calon pengantin. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum
yang berlaku terkait pernikahan anak dibawah umur. Penegakan hukum di bidang
perkawinan hendaknya menjadi komitmen semua pemegang kewenangan
termasuk pegawai pencatat nikah. Pemerintah harus semakin giat
mensosialisasikan undang-undang terkait pernikahan anak dibawah umur beserta
sanksi-sanksi dan resiko-resiko akibat pernikahan dibawah umur. Pengadilan
hendaknya berhati-hati, cerdas, arif dan bijaksana dalam menilai setiap alat bukti
surat atau saksi yang diajukan oleh para pihak yang mencari keadilan, agar
putusan yang dijatuhkan nantinya dapat memberikan solusi yang baik bagi orang
tua dan anak.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]