dc.description.abstract | Kebebasan pers dapat dijadikan salah satu kriteria yang penting dalam menelusuri
seberapa jauh Hak Asasi Manusia dijamin dan dilindungi dalam pelaksanaannya.
Pers yang bebas sekaligus merupakan perwujudan dari kebebasan pers tidak
hanya penting untuk dibicarakan dalam kaitan dengan Hak Asasi Manusia tapi
sekaligus juga penting untuk demokrasi, karena kebebasan pers itu sendiri
merupakan pilar keempat dari demokrasi. Indonesia secara jelas menyatakan
sebagai negara yang menggunakan sistem pers Pancasila yang bebas dan
bertanggung jawab. Namun dalam praktik sehari-hari kita masih sering
menemukan berita tentang kekerasan terhadap awak media. Hal ini menunjukkan
masih adanya sesuatu yang salah dalam sistem perlindungan pers di negara ini.
Bukannya berkurang, kasus kekerasan terhadap wartawan justru
cenderung meningkat setiap tahunnya. Paradigma kekerasan yang berkembang di
dalam masyarakat ini tidak jelas. Pasalnya, selama ini kekerasan hanya dipahami
hanya kekerasan fisik belaka. Hal ini membutuhkan penafsiran lebih lanjut agar
dalam praktiknya tidak menjadi rancu. Kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tapi
termasuk di dalamnya kekerasan yang bersifat psikis. Dalam praktiknya, hal ini
sulit di terapkan dan membutuhkan penafsiran ketika harus dibuktikan di
pengadilan.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap wartawan tentu saja menjadi sebuah
hal yang mengkhawatirkan. Mengingat sudah lebih dari satu dekade lamanya kita
telah memasuki era reformasi. Di mana Indonesia menyatakan diri telah terlepas
dari rezim otoriter dan memasuki era demokrasi yang menjunjung kebebasan
berekspresi. Hal ini mengingat kebebasan pers sesungguhnyalah memiliki tempat
yang istimewa dalam agenda gerakan reformasi. Manakala sistem otoriter Orde
Baru yang sarat dengan pengekangan kebebasan informasi dan kebebasan
berekspresi telah diruntuhkan dan instrumen hukum yang demokratis untuk
menjamin kebebasan pers telah dilahirkan, seharusnya kekerasan terhadap
wartawan mengalami kecenderungan untuk semakin menurun. | en_US |