dc.description.abstract | Artikel ini membahas tentang praktik lokalitas bahasa Jawa,
khususnya pada ruang-ruang enclave kultural. Pada setting yang
terbentuk melalui pluralitas posisi dan akar kultural, subjek
yang berbicara dan dialogisme kultur tampil secara ambivalen,
bukan hanya pada peniadaan akar identitasnya melainkan pada
situasi kekinian yang mengharuskan dirinya mentransformasi
kesadaran. Pada titik tersebut, bahasa menampilkan bentuk
transformasi kultural dan basis ekonomi-politik sang subjek.
Sementara wilayah enclave menjadi spesifik ketika subjek
menghadirkan dirinya pada keterbatasan naturalitas geografis,
situasi sosial yang tertutup dan terpinggirkan. Wilayah
enclave menjadi penanda titik terluar dari keterpusatan kuasa
bahasa yang menciptakan kedisiplinan dan menandai adanya
penampakan fragmentasi ruang jangkauan kekuasaan.
Sementara disisi lain, bahasa yang tampil dalam kultur urban
menjadi ruang pendisiplinan melalui sistem bahasa nasional.
Kategori dan kontradiksi praktik kultural antara enclave dengan
urban memunculkan persoalan bagaimana subjektivitas penutur
bahasa menjadi bagian yang berserakan dalam relasi kultural
yang membentuk praktik subjek penutur. Dengan setting politik
kebahasaan, peneliti melihat situasi yang secara sistematis mampu menciptakan ruang-ruang kebahasaan. Kuasa bahasa
atas bahasa Jawa kemudian tidak lebih dari sekedar menjadi
kategori kultural yang dikenali oleh sistem kebudayaan yang
menjadi bagian dan mereproduksi posisi-posisi subjek yang
berbicara. Dengan demikian, subjek tersebut menjadi bagian
eksotisasi tradisi dan berhadapan dengan standarisasi negara
atas kemungkinan munculnya pluralitas tradisi. Bagi peneliti
hal tersebut bukan lagi persoalan bagaimana negara sebagai
legitimator tradisi lokal mampu membatasi ruang gerak bahasa
tetapi menjadi bagian dari bagaimana eksotisme tradisi dan
bahasa ditempatkan pada persoalan kembalinya budaya sebagai
kekuatan melawan dominasi kebahasaan. | en_US |