PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN ANJAK PIUTANG YANG MENERAPKAN BENTUK TRANSAKSI WITHOUT RECOURSE FACTORING
Abstract
Rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini ada tiga yaitu, apa kedudukan
hukum perusahaan anjak piutang terkait dengan proses transaksi factoringdi
dalam lembaga pembiayaan anjak piutang?, apa bentuk perlindungan hukum
terhadap perusahaan anjak piutang yang menerapkan transaksi without recourse
factoring?, dan apa akibat hukum dari transaksi without recourse factoring
apabila customer tidak dapat melunasi utang kepada perusahaan anjak piutang?
Tujuan penelitian dalam penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui
kedudukan hukum perusahan anjak piutang melalui pembiayaan anjak piutang,
untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap perusahaan anjak piutangatas
transaksi without recourse factoring, serta untuk mengetahui akibat hukum
apabila nasabah tidak dapat melunasi utang kepada perusahaan anjak piutang
melalui bentuk transaksi without recourse factoring.
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini ialah tipe penelitian yuridis
normatif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan undang-undang
dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian dalam penulisan skripsi ini pertama, kedudukan hukum
perusahaan anjak piutang terkait proses transaksi dalam pembiayaan anjak piutang
adalah adanya suatu perjanjian yang merujuk pada ketentuan Pasal 1400
KUHPerdata.Perjanjian anjak piutang merupakan perjanjian Onbenoemde
Overeenkomstyang berdasarkan asas kebebasan berkontrak diperkenankan untuk
dibuat oleh para pihak yang berkehendak membuatnya dan mengikat sebagai
undang-undang yang sah. Kedua, perlindungan hukumsejatinya adalah
perlindungan dengan sarana hukum. Tidak semua kepentingan perlu dilindungi
hukum, kepentingan yang dilindungi hukum adalah kepentingan yang dinyatakan
sebagai hak. Bentuk transaksi without recourse factoring diberikan perlindungan
hukum preventif berupa perlindungan terhadap hakuntuk melakukan penagihan
berdasarkan padaPasal 174KUHDdan Pasal 1533 KUHPerdata, sedangkan
perlindungan represif berupa perlindungan terkait penyelesaian sengketa melalui
jalur litigasi dan non litigasi yang terdapat di dalam klausul perjanjian anjak
piutang. Ketiga,akibat hukum dari transaksi without recourse factoring apabila
nasabah wanprestasiadalah ketentuan mengenai asas kepastian hukum dalam
Pasal 1338 KUHPerdata denganmerujuk ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1831
KUHPerdata yang mengatur konsekuensiapabila terjadi kemungkinan gagal bayar
atau wanprestasi oleh pihak nasabah.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah pertama, kedudukan hukum pihak
perusahaan anjak piutang dalam perjanjian anjak piutang adalah sebagai kreditur
baruyang telah membayar sejumlah uang kepada Klien berdasarkan pasal 1400
KUHPerdata mengenai subrogasi, without recourse factoring menjadikan
perusahaan anjak piutang saja yang bertanggungjawab atas ketidakmampuan
nasabah dalam melunasi hutangnya terhadap perusahaan anjak piutang. Kedua,
perlindungan hukum yang bersifat preventif terhadap perusahaan anjak piutang
atas transaksi without recourse factoring dapat merujuk ketentuan Pasal 1533 dan
Pasal 1820KUHPerdata, serta Pasal 142 dan Pasal 174KUHDmengenai syarat dan
ketentuan hak tagih melalui promissory notes yang didukung oleh ketentuan
mengenai perjanjian penanggungan yang bersifat accesoir.Ketiga, akibat hukum
dari transaksi without recourse factoring apabila nasabah tidak dapat melunasi
utang kepada perusahaan anjak piutang dapat merujuk ketentuan Pasal 1131,
Pasal 1244, dan Pasal 1831KUHPerdata, dengan ini pihak nasabah dapat dihukum
mengganti biaya serta seluruh harta bendanya dapat menjadi jaminan atas
piutangnya kepada perusahaan anjak piutang dengan memperoleh tanggung jawab
dari Pihak penanggung untuk melunasi hutangnya dengan cara menyita dan
menjual harta benda milik nasabah, Perlindungan hukum yang bersifat represif
terhadap pemenuhan hak factor dari wanprestasi yang dilakukan oleh pihak
nasabah dapat melalui permintaan eksekusi jaminan fidusia ke Pengadilan Negeri
atau menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesiaagar kepastian
eksekusi terhadap harta benda pihak nasabah dapat dilakukan berdasarkan Pasal
61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Saran dalam skripsi ini adalah pertama, hendaknya pemerintah perlu
melakukan pengawasan yang lebih intensif terkait pelaksanaan pembiayaan anjak
piutang agar kedudukan perusahaan anjak piutangsebagai pembeli piutang dagang
tidak lemah dan tidak rentan dari terjadinya kegagalan penagihan piutang dagang.
Pengawasan dari pemerintah dapat dilakukan baik melalui Menteri Keuangan
maupun lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Pengawasan tersebut dilakukan untuk
mengatur penilaian dan mengawasi kesanggupan dari para pihak yang akan
melaksanakan pembiayaan anjak piutang dengan menggunakan prinsip goodwill
dari suatu perusahaan.Kedua,hendaknya perusahaan anjak piutang sebagai
lembaga keuangan non Bank dalam transaksi without recourse factoring
menerapkan prinsip mengenal nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Prinsip tersebut bertujuan
untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari seperti tidak
tertagihnya piutang dagang.Ketiga,hendaknya perusahaan anjak piutang dalam
proses pembuatan perjanjian anjak piutang perlu memperhatikan ketentuan
mengenai perjanjian penanggungan yang diatur dalam Pasal 1820 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perjanjian penanggungan yang bersifat
accesoir dapat disertai dengan jaminan benda bergerak dan tidak bergerak untuk
mendukung kepastian hukum dari perjanjian anjak piutang.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]