PENGATURAN TATA NIAGA TIKET PADA MASKAPAI PENERBANGAN LION AIR DAN WINGS AIR PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT (Studi Putusan Nomor : 10/KPPU-L/2009)
Abstract
Maraknya perkara penetapan harga yang merupakan suatu jenis dari
perjanjian yang mutlak dilarang, banyak menarik perhatian masyarakat, salah
satunya pada perkara nomor: 10/KPPU-L/2009 mengenai kesepakatan penetapan
komisi pemasaran tiket pada maskapai penerbangan Lion Air dan Wings Air di
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) menduga bahwa perkara tersebut merupakan bentuk perjanjian penetapan
harga yang melanggar Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang objek
perkaranya berupa kesepakatan besaran “komisi” yang dilakukan antara sub agen
dengan agen yang tergabung dalam anggota Asosiasi Agen Ticketing (disingkat
dengan ASATIN). Tim pemeriksa KPPU memutus perkara tersebut dengan
menyatakan bahwa agen ASATIN (terdiri dari maskapai penerbangan Garuda
Indonesia, Merpati Nusantara, Lion Air/Wings Air, Batavia Air, Trigana Air)
memberikan komisi kepada sub agen untuk setiap tiket pesawat yang berhasil
dijual di Provinsi NTB. Penulis menganalisis 2 (dua) permasalahan yang
kemudian dibahas dalam skripsi ini. Pertama, apakah penetapan besaran komisi
yang dilakukan oleh agen tiket di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan suatu
perjanjian yang dilarang?. dan Kedua, apakah pertimbangan Majelis Komisi
dalam putusan nomor: 10/KPPU-L/2009 telah sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku?. Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan memahami penetapan besaran komisi yang dilakukan oleh agen
tiket di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan suatu perjanjian yang dilarang
atau tidak. dan untuk mengetahui dan memahami kesesuaian pertimbangan
Majelis Komisi dalam putusan nomor: 10/KPPU-L/2009 dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis
normatif. Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan perundangundang
(statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach),
yang mana pendekatan konseptual yang digunakan, yaitu konsep persaingan usaha
dan konsep pembuktian terhadap perjanjian penetapan harga dalam persaingan
usaha. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder
dan bahan non hukum. Analisa hukum yang dilakukan adalah menganalisa bahan
hukum dengan cara menelaah isu hukum yang terdapat dalam putusan perkara
nomor: 10/KPPU-L/2009 beserta bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.
Kemudian menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dari kesimpulan.
Hasil pembahasan dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, perjanjian
penetapan besaran komisi yang dilakukan oleh agen tiket maskapai penerbangan
yang tergabung dalam anggota ASATIN bukan termasuk dalam suatu perjanjian
yang dilarang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan sudah sesuai dengan
konsep persaingan usaha. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dikuatkan dengan
teori baru perjanjian yang dikemukakan oleh Van Dunn bahwa perbuatan hukum
yang dilakukan antara agen ASATIN dan sub agen merupakan kesepakatan
besaran komisi yang termasuk dalam kategori perjanjian keagenan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf d UU No. 5 Tahun 1999. Akibat hukumnya pun tidak
menimbulkan dampak negatif bagi para pelaku usaha lainnya serta konsumen
akhir atas pembelian tiket pesawat domestik atau pun internasional di NTB,
disebabkan besaran harga tiket pesawat yang dibayarkan oleh konsumen akhir
merupakan harga publish fare yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh maskapai
penerbangan sebelum dijual kembali kepada agen dan sub agen. Apabila Pasal
1320 KUHPerdata disesuaikan dengan konsep persaingan usaha, maka perjanjian
yang telah mereka sepakati dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah dan bukan
perjanjian yang dilarang, karena sesungguhnya perjanjian keagenan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum serta peraturan perundang-undangan,
sehingga tidak menghambat persaingan usaha. Kedua, berdasarkan pendekatan
per se ilegal dan konsep pembuktian terhadap penanganan perkara pelanggaran
Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dalam Peraturan Komisi (Perkom) No. 4
Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU No. 5 Tahun 1999,
para Terlapor dapat dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999
apabila tindakan para Terlapor memenuhi unsur-unsur pasal tersebut. Pada skripsi
ini penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hakim dengan beranggapan
bahwa berdasarkan alat bukti dan fakta hukum yang telah dikemukakan dalam
Putusan perkara nomor:10/KPPU-L/2009, tidak terpenuhinya unsur-unsur Pasal 5
ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, yaitu: a. Unsur perjanjian penetapan harga, tidak
terpenuhi karena objek perkara yang dilakukan antara agen ASATIN dan sub agen
adalah kesepakatan penetapan besaran komisi. Secara epistemologi definisi harga
dan komisi memiliki perbedaan yang signifikan; b. Unsur antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya, tidak terpenuhi karena subjek yang melakukan
tindakan hukum tersebut adalah agen ASATIN dan sub agen yang memiliki
hubungan hukum keagenan sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 50 huruf d UU
No. 5 Tahun 1999 berdasarkan posisi sub agen yang berkedudukan sebagai
penjual perantara dan bukan pelaku usaha pesaing; dan c. Unsur harga yang
dibayar oleh konsumen, tidak terpenuhi karena komisi sub agen dibayar oleh agen
ASATIN.
Kesimpulan penulis, yaitu: Pertama, penetapan besaran komisi yang
dilakukan oleh agen ASATIN di Provinsi NTB bukan merupakan suatu perjanjian
yang dilarang karena tidak melanggar syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320
KUHPerdata) dan sesuai dengan konsep persaingan usaha. Kedua, pertimbangan
Majelis Komisi dalam putusan perkara nomor:10/KPPU-L/2009 belum sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku, karena tidak memenuhi unsur Pasal 5 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1999 serta Perkom No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal
5 (Penetapan Harga) UU No. 5 Tahun 1999. Saran penulis, yakni: Pertama, KPPU
sebagai lembaga independen pengawas persaingan usaha hendaknya melakukan
upaya preventif, misalnya melakukan upaya penyuluhan atau sosialisasi dalam hal
pembuatan perjanjian di antara pelaku usaha. Kedua, pelaku usaha dalam
menjalankan bisnis usahanya hendaknya dilakukan dengan itikad baik dan sesuai
peraturan hukum yang berlaku. Itikad baik tersebut diimplementasikan dengan
memahami tata cara pembuatan perjanjian bisnis yang baik agar terhindar dari
tindakan penetapan harga yang dapat merugikan pelaku usaha pesaing serta
konsumen.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]