Show simple item record

dc.contributor.advisorHARIYANI, Iswi
dc.contributor.advisorFAHAMSYAH, Ermanto
dc.contributor.authorBAIHAQI, Fathoni Juniar
dc.date.accessioned2016-11-17T08:21:39Z
dc.date.available2016-11-17T08:21:39Z
dc.date.issued2016-11-17
dc.identifier.nimNIM090710101052
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/77996
dc.description.abstractSalah satu indikator pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap Bank terlihat dari upaya pemberian kredit terhadap rakyat. Pemberian kredit terhadap masyarakat bertujuan untuk membantu perekonomian rakyat dan menjaga kualitas hidup rakyat. Melalui perkreditan maka nantinya akan berimplikasi terhadap pembangunan perekonomian dalam negeri. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia Sesuai dengan pengertian kredit menurut Undang-Undang Nomor 10/1998, persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dalam pemberian kredit, sehingga dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah aspek perjanjian kredit, agar dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit tidak menimbulkan akibat hukum yang merugikan salah satu pihak. Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkmst) dari penyerahan uang dimana perjanjian pendahuluan merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan – hubungan hukum antara keduanya. Dalam praktek perbankan, bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Hal-hal yang harus dipedomani dalam perjanjian kredit adalah bahwa rumusan perjanjian kredit tidak boleh kabur atau tidak jelas, memuat secara jelas jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali dan persyaratan lain yang lazim dalam perjanjian kredit, serta harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum. Rumusan masalah meliputi (1) Apa saja kriteria kredit bermasalah sehingga perlu dilakukan restrukturisasi kredit? (2) Apa akibat hukum apabila kredit bermasalah tetap tidak terselamatkan setelah dilakukan restrukturisasi kredit? (3) Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian kredit macet dengan cara restrukturisasi kredit? Tujuan umum penulisan ini adalah sebagai persyaratan guna melengkapi dan memenuhi tugas sebagai persyaratan pokok akademis untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember, sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan hukum yang diperoleh dari perkuliahan yang bersifat teoritis dengan praktik yang terjadi dalam masyarakat, untuk memberikan wawasan dan informasi, serta sumbangan pemikiran yang berguna bagi kalangan umum, para mahasiswa fakultas hukum dan almamater serta para pihak yang tertarik dan berminat terhadap masalah yang dihadapi. Sedangkan tujuan khusus ialah untuk mengetahui maksud dari permasalahan yang dibahas. Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), serta sumber bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, bahan non hukum dan analisis bahan hukum. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1)Kriteria kredit bermasalah yang dapat dilakukan restrukturisasi kredit, meliputi: a) Kredit Kurang Lancar (substandard) ialah Suatu kredit dikatakan kredit kurang lancar apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, b) Kredit Diragukan (doubtful) ialah Suatu kredit dikatakan kredit diragukan apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari, atau sering terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, atau terjadi kapitalisasi bunga, c) Kredit Macet (loss) Suatu kredit dikatakan kredit macet apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, atau kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. 2) Akibat hukum jika kredit bermasalah yang tetap tidak terselamatkan setelah dilakukan restrukturisasi kredit adalah kedudukan kredit kembali ke kedudukan semula yaitu tetap menjadi kredit bermasalah atau macet maka bank dapat melakukan proses atau tahapan-tahapan penyitaan jaminan antara lain: a) Pemberitahuan keterlambatan pembayaran; b) Memberikan surat peringatan; c) Somasi melalui pengadilan negeri. 3) Pelaksanaan penyelesaian kredit macet dengan cara restrukturisasi kredit melalui hapus buku dan hapus tagih, non litigasi dan litigasi. Melalui hapus buku ialah merupakan tindakan adminstratif bank untuk menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur, tanpa menghapus tagih hak bank kepada debitur, hapus tagih ialah tindakan bank menghapus semua kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan, jalur non litigasi adalah kredit yang semula tergolong kurang lancar, diragukan atau macet yang kemudian diusahakan untuk diperbaiki sehingga mempunyai kolekbilitas lancar. Penyelesaian kredit dengan melakukan upaya hukum melalui jalur litigasi (peradilan) merupakan alternatif akhir yang harus ditempuh bank manakala kredit atau pinjaman debitur sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Penyelesaian melalui prosedur hukum dapat ditempuh dengan melakukan penyelesaian kredit melalui jalur pengadilan negeri dan jalur pengadilan niaga. Saran yang dapat diberikan adalah Hendaknya pemerintah segera membuat penetapan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai restrukturisasi agar pelaksanaan restrukturisasi jelas dan memiliki dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaanya, sehingga nanti tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik phak kreditur maupun debitur. Hendaknya pihak bank (kreditur) secara konsisten dan terus menerus melakukan sosialisasi dan pemantauan kepada pihak debitur atau calon debitur sebagai tindakan prefentif terhadap masalah perkreditan, pihak debitur proaktif melakukan komunikasi dengan pihak kreditur (bank) ketika kreditnya masuk kategori kredit bermasalah.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries090710101052;
dc.subjectKredit Bermasalahen_US
dc.subjectPemberian Krediten_US
dc.titleUPAYA PENYELAMATAN KREDIT BERMASALAH OLEH BANK MELALUI RESTRUKTURISASI KREDITen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record