PERJANJIAN TERTUTUP DALAM KEGIATAN BONGKAR MUAT PT. PELABUHAN INDONESIA II (PERSERO) DI PELABUHAN TELUK BAYUR (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NOMOR: 01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT)
Abstract
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha seringkali menggunakan
cara-cara yang tidak jujur, melawan hukum, bahkan dengan cara-cara lain yang
dapat menghambat terjadinya persaingan usaha yang sehat. Salah satu cara yang
dilakukan yakni melakukan perjanjian tertutup, hal inipun dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat sangatlah dilarang. Undang-undang ini merupakan pedoman bagi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha disingkat dengan KPPU dalam melakukan
penyelidikan, pemeriksaan, pembuktian bahkan putusan terhadap pelaku usaha
yang diduga telah melakukan kegiatan ataupun perjanjian yang dilarang.
Salah satu kasus akhir tahun 2013 yang ditangani KPPU adalah perjanjian
tertutup berkaitan dengan jasa bongkar muat yang dilakukan oleh PT Pelindo II
(Persero) cabang Teluk Bayur. PT Pelindo II (Persero) terbukti telah melanggar
Pasal 15 ayat 2 dan Pasal 19 huruf a dan b dan KPPU memerintahkan kepada
Pelindo II untuk mencabut setiap klausula yang mengatur penyerahan kegiatan
bongkar muat barang kepada Terlapor dalam perjanjian-perjanjian sewa lahan di
Pelabuhan Teluk Bayur yang mengkaitkan antara penyewa lahan dengan
pengguna jasa bongkar muat dan memerintahkan untuk membayar denda sebesar
Rp 4.775.377.781. PT. Pelindo II keberatan atas putusan tersebut sehingga
mengajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 27 November 2013.
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT, PT. Pelindo
II dinyatakan tidak bersalah dan membatalkan putusan KPPU.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut maka penulis tertarik
untuk mengkaji putusan tersebut kedalam sebuah skripsi dengan judul
“PERJANJIAN TERTUTUP DALAM KEGIATAN BONGKAR MUAT PT.
PELABUHAN INDONESIA II (PERSERO) DI PELABUHAN TELUK
BAYUR (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NOMOR:
01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT)”. Adapun mengenai rumusan masalah
sebagai berikut: 1) Apakah perjanjian tertutup yang mempunyai dampak positif
dibenarkan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengingat bahwa perjanjian
tertutup dirumuskan secara Per Se. 2)Apakah ratio decidendi hakim dalam
putusan nomor: 01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT) sudah sesuai dengan Pasal 2
dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan mengetahui
dampak positif dari perjanjian tertutup dan ratio decidendi hakim dalam putusan
nomor: 01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT) sudah sesuai atau tidak dengan Pasal 2
dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mana kedua
rumusan masalah tersebut dikaitkan dengan teori serta kaidah hukum yang ada.
Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan
peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur yang mendukung.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan undang-undang yang
berkaitan dengan kegiatan bongkar muat, persaingan usaha, kepelabuhanan dan
lain sebagainya.
Pada bab tinjauan pustaka yang dibahas adalah mengenai pengertian dari
perjanjian, perjanjian tertutup, kegiatan bongkar muat, persaingan usaha dan
kriteria dari perjanjian tertutup serta macam-macam perjanjian tertutup. Pada bab
pembahasan yang dibahas adalah mengenai dampak positif perjanjian tertutup
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dirumuskan secara Per Se
adalah a) Penjualan berbagai produk secara bersamaan akan mengurangi biaya
transaksi, terutama dalam proses pengumpulan informasi, negosiasi serta
manajemen logistik. Hal ini dikarenakan pelaku usaha yang melakukan adalah
pelaku usaha yang sama. b) Dalam kasus tertentu (misalnya untuk mesin yang
rumit), produsen dapat mengikat pembeli sehingga kontrol kualitas terhadap
bahan baku yang digunakan mesin tersebut dapat dilakukan. Dengan demikian
tidak akan terjadi kesalahan penggunaan bahan baku yang memperburuk kinerja
mesin. Sekilas dibahas pula mengenai perjanjian tertutup yang berdampak negatif
yaitu merupakan salah satu bentuk pembatasan akses pasar yang diberlakukan
oleh pelaku perjanjian ini terhadap pelaku usaha pesaingnya dan hambatan masuk
ke pasar, terutama bagi pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan untuk
memproduksi produk yang disertakan atau disyaratkan diluar produk utamanya,
dan lain-lain. Mengenai pendekatan Per Se yakni pendekatan yang dilakukan
tanpa melihat suatu perjanjian ataupun kegiatan mempunyai dampak yang
ditimbulkan ataukah tidak, namun hanya melihat rumusan pasal yang
melarangnya saja.
Pada bab pembahasan juga membahas mengenai analisis ratio decidendi
hakim dalam Putusan Pengadilan Nomor: 01/PDT.KPPU/2013/PN.JKT.UT
tentang kegiatan bongkar muat di pelabuhan teluk bayur berdasarkan pasal 2 dan
pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam pertimbangan
hakim tersebut jika ditinjau dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka
dirasa kurang sesuai, sebab dalam ketentuan pasal tersebut sangatlah
memperhatikan asas keseimbangan. Namun hakim saat memutuskannya sama
sekali tidak memperhatikan pelaku usaha lain yang merupakan pesaing dari PT
Pelindo II (Persero) sehingga menurut hemat penulis putusan tersebut belum
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Mengingat kembali bahwa tujuan
dari undang-undang tersebut adalah untuk menciptakan persaingan usaha yang
sehat. Hakim dalam menjatuhkan putusan hanya memperhatikan dampak positif
yang ditimbulkan dari perjanjian tertutup saja. Sedangkan untuk Pasal 19 menurut
penulis sudah benar dalam pertimbangannya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat direkomendasikan kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, dalam membuat suatu kebijakan harus konsisten
sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam penafsirannya. Sebab hal ini akan
berimplikasi terhadap penegakan hukum persaingan usaha yang sehat. Kepada
Pemerintah, dalam menjalankan kegiatan usaha yang telah diamanahkan pada
suatu departemen seharusnya saat ini mulai melakukan perubahan. Seharusnya
pelaku usaha yang lemah mulai mendapatkan perhatian, mengingat saat ini
penerapan AEC yang mana menuntut pelaku usaha untuk bersaing dengan pelaku
usaha lainnya. Sehingga jalur kemitraan yang semestinya dapat dipilih oleh
pemerintah. Kepada pelaku usaha, dalam menjalankan suatu usaha memang
tidaklah mudah, membutuhkan usaha dan kerjakeras demi mandapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun, janganlah menggunakan cara-cara
yang tidak jujur untuk mencapai apa yang diinginkan. Sebab hal ini akan
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga kondisi pasar tidak
kondusif.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]