Show simple item record

dc.contributor.advisorAmrullah, Arief
dc.contributor.advisorHALIF
dc.contributor.authorCHIDAYATULLAH, AZIZI
dc.date.accessioned2015-12-01T02:47:39Z
dc.date.available2015-12-01T02:47:39Z
dc.date.issued2015-12-01
dc.identifier.nim110710101004
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/65281
dc.description.abstractTindak pidana pencucian uang (TPPU) atau yang sering dikenal dengan istilah money laundering merupakan salah satu kejahatan white collar crime yang banyak menarik perhatian dan keprihatinan dunia internasional termasuk Indonesia. Hal tersebut lazim adanya mengingat dampak yang diakibatkan oleh aksi TPPU sangatlah luar biasa, yakni selain mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak yang ditimbulkan tersebut juga tidak terlepas dari berhasilnya modus yang digunakan oleh pelaku pencucian uang. Dewasa ini modus yang sering digunakan oleh pelaku TPPU ialah menggunakan jasa para professional (gatekeeper), yang meliputi profesi advokat, notaris, dan PPAT. Profesi-profesi tersebut di atas dapat menjadi gatekeeper bagi pelaku pencucian uang dikarenakan advokat, notaris, dan PPAT tidak dijadikan sebagai pihak pelapor atas transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dalam TPPU. Secara yuridis, formulasi mengenai pihak pelapor diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undangundang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pasal tersebut hanya membagi Pihak Pelapor ke dalam dua jenis profesi yakni Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia barang dan/atau jasa lain. Sehingga dapat dikatakan tampaknya pembuat undangundang hanya fokus terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang menggunakan peran profesi (orang-orang profesional) hanya pada Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan/atau Jasa lain. Padahal di dalam rekomendasi FATF sebagaimana tercantum dalam Rekomendasi 12 dan Rekomendasi 16 telah mengklasifikasi pihak pelapor ke dalam 3 jenis profesi, yakni institusi keuangan, lembaga non-keuangan, dan profesi (termasuk profesiprofesi di bidang hukum). Sehingga dapat dipahami bahwa sejatinya dunia internasional menghendaki terhadap profesi-profesi hukum untuk dijadikan pihak pelapor atas TKM. Secara historis profesi hukum seperti advokat, notaris, dan PPAT telah dijadikan sebagai pihak pelapor sebagaiman tercantum dalam Pasal 15 Rancangan Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU PPTPPU).Namun dalam pembahasan RUU PPTPPU tersebut banyak pihak yang berargumentasi bahwa ketika profesi tersebut dijadikan sebagai pihak pelapor maka hal ini bertentangan hak privasi yang dimiliki oleh advokat maupun profesi yang lain. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam maka dapat diketahui bahwa argumentasi tersebut merupakan argumentasi yang kurang tepat. Sebab di dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) telah memberikan pengecualian terhadap hak privasi atau hak kerahasiaan antara advokat dengan kliennya, yakni dengan adanya klausa kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Artinya, memang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya yang ada kaitannya dengan klien, maka advokat haruslah menjaga kerahasiaan informasi yang yang diketahui atau diperoleh dari kliennya. Namun ketika terdapat undang-undang yang menentukan lain (dalam hal ini UU PPTPPU) maka advokat harus pada undang-undang yang telah mengatur secara lain atau mengatur pengecualian terhadap hak privasi antara advokat dan klien. xiv Dengan demikian, ketika terdapat peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan advokat harus melaporkan informasi (dalam hal ini TKM dalam TPPU) maka advokatpun harus melaksanakannya, karena hal tersebut merupakan lex specialis dari UU Advokat sebagai lex generalis yang mengatur advokat. Begitupula dengan notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris juga terdapat pengecualian dalam menjalankan hak kerahasiaan antara notaris dan klien. Selain itu para pembuat undang-undang RUU PPTPPU juga berpendapat bahwa formulasi mengenai pihak pelapor hanyalah mengikuti atau berkiblat terhadap peraturan atau rekomendasi internasional saja dan tidak memperhatikan kondisi kebutuhan hukum bangsa Indonesia sendiri. Namun jika mengkaji latar belakang pembuatan RUU PPTPPU maka dapat dipahami bahwa segala substansi yang terdapat dalam RUU tersebut termasuk mengenai pihak pelapor merupakan substansi yang didasarkan terhadap dasar negara, konstitusi, dan dengan memperhatikan kondisi kekinian akan kebutuhan hukum bangsa Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa formulasi untuk dijadikannya advokat, notaris, dan PPAT sebagai pihak pelapor agar profesi tersebut tidak lagi dimanfaatkan sebagai gatekeeper oleh pelaku pencucian uang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami diperlukan upaya untuk mereformulasi kewajiban pelaporan terhadap gatekeeper sebagai pihak pelapor atas transaksi keuangan mencurigakan dalam upaya pencegahan dan poemberantasan tindak pidana pencucian uang, yakni dengan memasukkan profesi advokat, notaris, dan PPAT sebagai pihak pelapor dan menentukan pula jenis laporan atau transaksi yang harus dilaporkan, serta memberikan perlindungan hukum bagi profesi tersebut dalam menjalankan kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectGATEKEEPERen_US
dc.subjectTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANGen_US
dc.titleFORMULASI KEWAJIBAN PELAPORAN TERHADAP GATEKEEPER SEBAGAI PIHAK PELAPOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANGen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record