FORMULASI KEWAJIBAN PELAPORAN TERHADAP GATEKEEPER SEBAGAI PIHAK PELAPOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Abstract
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau yang sering dikenal dengan
istilah money laundering merupakan salah satu kejahatan white collar crime yang
banyak menarik perhatian dan keprihatinan dunia internasional termasuk
Indonesia. Hal tersebut lazim adanya mengingat dampak yang diakibatkan oleh
aksi TPPU sangatlah luar biasa, yakni selain mengancam stabilitas perekonomian
dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak yang
ditimbulkan tersebut juga tidak terlepas dari berhasilnya modus yang digunakan
oleh pelaku pencucian uang. Dewasa ini modus yang sering digunakan oleh
pelaku TPPU ialah menggunakan jasa para professional (gatekeeper), yang
meliputi profesi advokat, notaris, dan PPAT.
Profesi-profesi tersebut di atas dapat menjadi gatekeeper bagi pelaku
pencucian uang dikarenakan advokat, notaris, dan PPAT tidak dijadikan sebagai
pihak pelapor atas transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dalam TPPU. Secara
yuridis, formulasi mengenai pihak pelapor diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undangundang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pasal tersebut hanya membagi Pihak
Pelapor ke dalam dua jenis profesi yakni Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia
barang dan/atau jasa lain. Sehingga dapat dikatakan tampaknya pembuat undangundang
hanya fokus terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang yang menggunakan peran profesi (orang-orang profesional) hanya
pada Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan/atau Jasa lain. Padahal di
dalam rekomendasi FATF sebagaimana tercantum dalam Rekomendasi 12 dan
Rekomendasi 16 telah mengklasifikasi pihak pelapor ke dalam 3 jenis profesi,
yakni institusi keuangan, lembaga non-keuangan, dan profesi (termasuk profesiprofesi
di bidang hukum). Sehingga dapat dipahami bahwa sejatinya dunia
internasional menghendaki terhadap profesi-profesi hukum untuk dijadikan pihak
pelapor atas TKM.
Secara historis profesi hukum seperti advokat, notaris, dan PPAT telah
dijadikan sebagai pihak pelapor sebagaiman tercantum dalam Pasal 15 Rancangan
Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (RUU PPTPPU).Namun dalam pembahasan RUU PPTPPU tersebut banyak
pihak yang berargumentasi bahwa ketika profesi tersebut dijadikan sebagai pihak
pelapor maka hal ini bertentangan hak privasi yang dimiliki oleh advokat maupun
profesi yang lain. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam maka dapat diketahui bahwa
argumentasi tersebut merupakan argumentasi yang kurang tepat. Sebab di dalam
Pasal 19 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat)
telah memberikan pengecualian terhadap hak privasi atau hak kerahasiaan antara
advokat dengan kliennya, yakni dengan adanya klausa kecuali ditentukan lain
oleh Undang-undang. Artinya, memang dalam menjalankan tugas dan
pekerjaannya yang ada kaitannya dengan klien, maka advokat haruslah menjaga
kerahasiaan informasi yang yang diketahui atau diperoleh dari kliennya. Namun
ketika terdapat undang-undang yang menentukan lain (dalam hal ini UU
PPTPPU) maka advokat harus pada undang-undang yang telah mengatur secara
lain atau mengatur pengecualian terhadap hak privasi antara advokat dan klien.
xiv
Dengan demikian, ketika terdapat peraturan perundang-undangan yang
mengamanatkan advokat harus melaporkan informasi (dalam hal ini TKM dalam
TPPU) maka advokatpun harus melaksanakannya, karena hal tersebut merupakan
lex specialis dari UU Advokat sebagai lex generalis yang mengatur advokat.
Begitupula dengan notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan
Notaris juga terdapat pengecualian dalam menjalankan hak kerahasiaan antara
notaris dan klien.
Selain itu para pembuat undang-undang RUU PPTPPU juga berpendapat
bahwa formulasi mengenai pihak pelapor hanyalah mengikuti atau berkiblat
terhadap peraturan atau rekomendasi internasional saja dan tidak memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum bangsa Indonesia sendiri. Namun jika mengkaji latar
belakang pembuatan RUU PPTPPU maka dapat dipahami bahwa segala substansi
yang terdapat dalam RUU tersebut termasuk mengenai pihak pelapor merupakan
substansi yang didasarkan terhadap dasar negara, konstitusi, dan dengan
memperhatikan kondisi kekinian akan kebutuhan hukum bangsa Indonesia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa formulasi untuk dijadikannya advokat,
notaris, dan PPAT sebagai pihak pelapor agar profesi tersebut tidak lagi
dimanfaatkan sebagai gatekeeper oleh pelaku pencucian uang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami diperlukan upaya untuk
mereformulasi kewajiban pelaporan terhadap gatekeeper sebagai pihak pelapor
atas transaksi keuangan mencurigakan dalam upaya pencegahan dan
poemberantasan tindak pidana pencucian uang, yakni dengan memasukkan profesi
advokat, notaris, dan PPAT sebagai pihak pelapor dan menentukan pula jenis
laporan atau transaksi yang harus dilaporkan, serta memberikan perlindungan
hukum bagi profesi tersebut dalam menjalankan kewajiban yang diamanahkan
oleh undang-undang.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]