PENERAPAN PASAL 19 HURUF (F) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 TERHADAP PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (KAJIAN PUTUSAN NOMOR 149/PDT.G/2013/PN.JR)
Abstract
Sama halnya dengan perkawinan, perceraian pun harus mengikuti tata cara
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi pegawai negeri sipil (PNS)
dan pegawai BUMN antara lain terlebih dahulu mesti mendapat surat izin dari
atasan. Izin atasan tersebut baru keluar setelah pegawai mengajukan permohonan
tertulis kepada atasan dengan format dokumen permohonan yang ditentukan. Lalu
atasan memeriksa alasan permohonan tersebut apakah cukup dasar untuk
dikabulkan atau ditolak. Pemeriksaan oleh atasan demikian akan dibuat semacam
berita acara. Barulah setelah itu keluar surat berupa izin perceraian atau penolakan
izin perceraian kepada pegawai yang bersangkutan tersebut. Perihal surat izin
atasan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Dalam kedua Peraturan Pemerintah ini
pegawai BUMN disamakan dengan PNS dan karenanya mesti mendapatkan izin
atasan terlebih dahulu jika hendak mengajukan permohonan/gugatan perceraian.
Demikian halnya dengan kasus yang dikaji dalam penulisan ini, sebagaimana
tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 149 Pdt.G/2013/PN.Jr.
Rumusan Masalah meliputi : (1) Apakah mekanisme gugatan perceraian
oleh Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku ? dan (2) Bagaimanakah penerapan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dalam pertimbangan hakim pada Putusan Nomor: 149/Pdt.G/
2013/PN.Jr ? Tujuan umum penulisan ini adalah : untuk memenuhi syarat-syarat
dan tugas guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jember, menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya
hukum perjanjian. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas dan
diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerapkan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan masalah menggunakan pendekatan
pendekatan konseptual, dengan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder dan bahan non hukum.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan, Pertama bahwa
mekanisme gugatan perceraian oleh penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil sudah
sesuai berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hal ini sebagaimana terungkap dalam
fakta di persidangan bahwa Penggugat telah mengajukan ijin kepada atasan dan
adanya Ijin bercerai dari atasan sesuai Keputusan Pemberian Ijin Perceraian Nomor
474.2/U.3/313/2013 tanggal 27 Maret 2013 yang ditandatangani oleh Wakil Bupati
Kabupaten Jember. Dalam hal pengajuan ijin ini Penggugat telah melayangkan
surat ijin untuk melakukan perceraian di tempat instansi Penggugat berdinas di
Rumah Sakit Dr. Soebandi Jember melalui kepala, yang diteruskan melalui
pembinaan untuk diupayakan upaya mediasi agar perkawinan tersebut terus
langgeng. Berdasarkan hasil pembinaan tersebut, bila Pegawai Negeri Sipil dalam
hal ini istri selaku Penggugat tetap berkeinginan untuk melakukan perceraian, maka
Kepala Satuan Kerja melaporkan permohon perceraian tersebut kepada Bupati,
dilampiri hasil pembinaannya untuk kemudian keluar Surat Keputusan Pemberian
Ijin Perceraian. Kedua, dari gugatan yang diajukan oleh Penggugat tersebut pada
pokoknya Penggugat mohon agar supaya perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat dinyatakan putus karena perceraian dengan alasan sering salah paham dan
bertengkar, yang seringkali juga terucap kata-kata bercerai dari Tergugat, sehingga
antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada lagi kecocokan lagi dalam membina
kehidupan berumah tangga. Atas dikabulkannya gugatan penggugat tersebut di atas,
hal yang menjadi pertimbangan hakim adalah penerapan Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada Putusan Pengadilan Negeri
Jember Nomor 149 Pdt.G/2013/PN.Jr.
Saran yang dapat diberikan bahwa Perkawinan merupakan upaya positif
dalam rangka hubungan lebih lanjut antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
membentuk suau keluarga yang sakinah dan mawaddah dihadapan Allah. Oleh
karena itu kiranya perkawinan harus dipertahankan dari adanya perpisahan atau
perceraian. Dengan menikahnya seorang laki-laki dan seorang wanita, maka sejak
saat itulah keduanya harus berbagi suka, duka dan kesetiaan hingga akhir hayatnya.
Dengan adanya cinta dan kesetiaan yang melandasi bahtera rumah tangga maka
biduk keluarga akan berjalan dengan baik dan bahagia sehingga riak-riak kecil
seperti perselisihan dapat diatasi dengan baik, jangan sampai terpisahkan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]