Show simple item record

dc.contributor.authorMAS’UD SYAIFUDIN
dc.date.accessioned2013-12-07T04:17:26Z
dc.date.available2013-12-07T04:17:26Z
dc.date.issued2013-12-07
dc.identifier.nimNIM060710101196
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/5958
dc.description.abstractDua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai tersangka pada 15 September 2009 atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 12 huruf (e) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 23 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 421 KUHP. Hasil penyidikan yang dilakukan penyidik Bareskrim Mabes Polri dinyatakan telah lengkap. Pertama, bahwa Berkas Perkara Hasil Penyidikan Bareskrim Mabes Polri No.Pol.:BP/B.09/X/2009/PIDKOR & WCC, tertanggal 2 Oktober 2009, atas nama tersangka Chandra Martha Hamzah, dinyatakan “Berkas Sudah Lengkap” (P-21) melalui Surat Nomor R-478/F.3/Ft.1/11/2009, Perihal: Pemberitahuan Hasil Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Tersangka Chandra M. Hamzah sudah lengkap, tertanggal 24 November 2009. Kedua, bahwa Berkas Perkara Hasil Penyidikan Bareskrim Mabes Polri No.Pol.: BP/B.10/X/2009/PIDKOR & WCC, tertanggal 9 Oktober 2009, atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto, dinyatakan “Berkas Sudah Lengkap” (P-21) melalui Surat Nomor R-482/F.3/Ft.1/11/2009, Perihal: Pemberitahuan Hasil Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Atas Nama tersangka Dr. Bibit Samad Rianto sudah lengkap, tertanggal 26 November 2009. Selanjutnya terhadap perkara tersebut Jaksa Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP-01/0.1.14/Ft.1/12/2009, tertanggal 1 Desember 2009, atas nama Chandra Martha Hamzah dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP-02/0.1.14/Ft.1/12/2009, tertanggal 1 Desember 2009, atas nama Dr. Bibit Samad Rianto. Terhadap dikeluarkannya SKPP tersebut, Anggodo Widjojo melalui kuasa hukumnya mengajukan keberata melalui Praperadilan, yang kemudian putusan Praperadilan menyatakan bahwa SKPP tersebut tidak sah, untuk itu perkara harus dilanjutkan ke pengadilan. Upaya hukum atas putusan Praperadilan ditempuh oleh Jaksa Penuntut Umum sampai ke tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung, namun putusan pinjauan kembali Mahkamah Agung justru menguatkan putusan Praperadilan di tingkat pertama. Pada akhirnya jaksa agung dengan kewenangan oportunitas yang dimiliki, menyampingkan perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut demi kepentingan umum. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkatnya dalam penelitian skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA AGUNG (Studi Atas Keputusan Penyampingan Perkara Dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi)”.rumusan permasalahan dalam skripsi tersebut adalah apakah keputusan penyampingan perkara yang dilakukan Jaksa Agung terhadap perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana, dan apakah konsekuensi hukum yang ditimbulkan atas dikeluarkannya keputusan penyampingan perkara terhadap perkara dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Metodologi dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer berupa xiii Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang diperoleh dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku, literatur ilmiah, kamus-kamus. Analisa bahan hukum dilakukan dengan menganalisa data secara normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen perUndang-undangan. Normatifnya karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan- peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi baru. Kesimpulan yang diperoleh penulis dalam pembahasan ialah tindakan penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dilakukan Jaksa Agung terhadap perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana. Hal ini dikarenakan keputusan penyampingan perkara tersebut dikeluarkan setelah adanya putusan Praperadilan yang dalam amar putusannya mewajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk melanjutkan penuntutan perkara ke sidang pengadilan. Dalam pada itu keputusan penyampingan perkara sebagaimana dimaksud juga mencerminkan tidak adanya saling koordinasi antara penegak hukum khususnya Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, keputusan untuk menyampingkan perkara pidana yang telah lengkap berkasnya dan telah incraht dalam putusan Praperadilan menunjukkan tidak adanya kepastian hukum. Selanjutnya terhadap dikeluarkannya keputusan penyampingan perkara terhadap perkara dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Jaksa Agung, maka konsekuensi hukum terhadap perkara tersebut adalah bahwa Perkara tersebut dianggap tidak pernah ada karena telah dikesampingkan. Dan terhadap perkara yang telah dikesampingkan karena alasan kepentingan umum tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kembali pada siding pengadilan. Saran yang diberikan penulis dalam pembahasan ialah pertama, penggunaan wewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum atas dasar asas oportunitas yang menjadi kewenangan Jaksa Agung berdasarkan Pasal 35 huruf (c) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia hendaknya dilakukan sebelum adanya putusan terhadap perkara yang akan dikesampingkan, agar keputusan tersebut dapat diambil dengan tetap menghormati rasa kepastian. Kedua, Penggunaan wewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum hendaknya dilakukan dengan dengan menghormati asas-asas dalam hukum acara pidana, selain itu harus pula mempertimbangkan dan memaknai secara bijaksana atas keadadan yang dimaksudkan sebagai “kepentingan umum” yang merupakan alasan penyampingan perkara.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060710101196;
dc.subjectPENYAMPINGAN PERKARAen_US
dc.titleTINJAUAN YURIDIS PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA AGUNG (Studi Atas Keputusan Penyampingan Perkara Dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi)en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record