TINJAUAN YURIDIS PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA AGUNG (Studi Atas Keputusan Penyampingan Perkara Dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi)
Abstract
Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai
tersangka pada 15 September 2009 atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur
Pasal 12 huruf (e) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 23 Undang-undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 421 KUHP. Hasil
penyidikan yang dilakukan penyidik Bareskrim Mabes Polri dinyatakan telah
lengkap. Pertama, bahwa Berkas Perkara Hasil Penyidikan Bareskrim Mabes Polri
No.Pol.:BP/B.09/X/2009/PIDKOR & WCC, tertanggal 2 Oktober 2009, atas
nama tersangka Chandra Martha Hamzah, dinyatakan “Berkas Sudah Lengkap”
(P-21) melalui Surat Nomor R-478/F.3/Ft.1/11/2009, Perihal: Pemberitahuan
Hasil Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Tersangka Chandra
M. Hamzah sudah lengkap, tertanggal 24 November 2009. Kedua, bahwa Berkas
Perkara Hasil Penyidikan Bareskrim Mabes Polri No.Pol.:
BP/B.10/X/2009/PIDKOR & WCC, tertanggal 9 Oktober 2009, atas nama
Tersangka Bibit Samad Rianto, dinyatakan “Berkas Sudah Lengkap” (P-21)
melalui Surat Nomor R-482/F.3/Ft.1/11/2009, Perihal: Pemberitahuan Hasil
Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Atas Nama tersangka Dr. Bibit Samad
Rianto sudah lengkap, tertanggal 26 November 2009. Selanjutnya terhadap
perkara tersebut Jaksa Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan sebagaimana Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
Nomor TAP-01/0.1.14/Ft.1/12/2009, tertanggal 1 Desember 2009, atas nama
Chandra Martha Hamzah dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor
TAP-02/0.1.14/Ft.1/12/2009, tertanggal 1 Desember 2009, atas nama Dr. Bibit
Samad Rianto. Terhadap dikeluarkannya SKPP tersebut, Anggodo Widjojo
melalui kuasa hukumnya mengajukan keberata melalui Praperadilan, yang
kemudian putusan Praperadilan menyatakan bahwa SKPP tersebut tidak sah,
untuk itu perkara harus dilanjutkan ke pengadilan. Upaya hukum atas putusan
Praperadilan ditempuh oleh Jaksa Penuntut Umum sampai ke tingkat peninjauan
kembali di Mahkamah Agung, namun putusan pinjauan kembali Mahkamah
Agung justru menguatkan putusan Praperadilan di tingkat pertama. Pada akhirnya
jaksa agung dengan kewenangan oportunitas yang dimiliki, menyampingkan
perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut demi kepentingan
umum. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkatnya dalam
penelitian skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENYAMPINGAN
PERKARA PIDANA OLEH JAKSA AGUNG (Studi Atas Keputusan
Penyampingan Perkara Dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi)”.rumusan
permasalahan dalam skripsi tersebut adalah apakah keputusan penyampingan
perkara yang dilakukan Jaksa Agung terhadap perkara dua pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana, dan
apakah konsekuensi hukum yang ditimbulkan atas dikeluarkannya keputusan
penyampingan perkara terhadap perkara dua Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Metodologi dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-undang,
pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer berupa
xiii
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1946 Tentang Peraturan
Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Bahan hukum sekunder
berupa bahan hukum yang diperoleh dari semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku, literatur ilmiah,
kamus-kamus. Analisa bahan hukum dilakukan dengan menganalisa data secara
normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan
yang terdapat dalam dokumen perUndang-undangan. Normatifnya karena
penelitian ini bertitik tolak dari peraturan- peraturan yang ada sebagai norma
hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada
usaha penemuan asas-asas dan informasi baru.
Kesimpulan yang diperoleh penulis dalam pembahasan ialah tindakan
penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dilakukan Jaksa Agung
terhadap perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana. Hal ini dikarenakan keputusan
penyampingan perkara tersebut dikeluarkan setelah adanya putusan Praperadilan
yang dalam amar putusannya mewajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk
melanjutkan penuntutan perkara ke sidang pengadilan. Dalam pada itu keputusan
penyampingan perkara sebagaimana dimaksud juga mencerminkan tidak adanya
saling koordinasi antara penegak hukum khususnya Penyidik dan Jaksa Penuntut
Umum. Selain itu, keputusan untuk menyampingkan perkara pidana yang telah
lengkap berkasnya dan telah incraht dalam putusan Praperadilan menunjukkan
tidak adanya kepastian hukum. Selanjutnya terhadap dikeluarkannya keputusan
penyampingan perkara terhadap perkara dua Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi oleh Jaksa Agung, maka konsekuensi hukum terhadap perkara tersebut
adalah bahwa Perkara tersebut dianggap tidak pernah ada karena telah
dikesampingkan. Dan terhadap perkara yang telah dikesampingkan karena alasan
kepentingan umum tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kembali pada siding
pengadilan.
Saran yang diberikan penulis dalam pembahasan ialah pertama,
penggunaan wewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum atas
dasar asas oportunitas yang menjadi kewenangan Jaksa Agung berdasarkan Pasal
35 huruf (c) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia hendaknya dilakukan sebelum adanya putusan terhadap perkara yang
akan dikesampingkan, agar keputusan tersebut dapat diambil dengan tetap
menghormati rasa kepastian. Kedua, Penggunaan wewenangan penyampingan
perkara demi kepentingan umum hendaknya dilakukan dengan dengan
menghormati asas-asas dalam hukum acara pidana, selain itu harus pula
mempertimbangkan dan memaknai secara bijaksana atas keadadan yang
dimaksudkan sebagai “kepentingan umum” yang merupakan alasan
penyampingan perkara.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]