ANALISIS YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN SEBAGAI AKIBAT SALAH SANGKA TERHADAP STATUS SUAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ketapang Nomor 198/Pdt.G/2011/PA.Ktp)
Abstract
Putusan Pengadilan Agama Ketapang Nomor 198/Pdt.G/2011/PA.Ktp.
sudah sesuai dengan hukum positif dimana isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan akibat salah sangka terhadap status suami. Yang dijadikan
dasar untuk melakukan pembatalan perkawinan, yakni: alasan-alasan batalnya
perkawinan dan pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Akibat
hukum dari pembatalan perkawinan berakibat terhadap hubungan suami isteri,
terhadap status anak, mengenai harta bersama yang didapatkan selama dalam
perkawinan dan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik. Kesimpulan dari
skripsi ini adalah dalam perkawinan yang diajukan pembatalan perkawinan di
Pengadilan Agama Ketapang, yang kemudian didaftarkan dalam perkara Nomor
198/Pdt.G/2011/PA.Ktp. dimana putusan tersebut telah bertentangan dengan asas
monogami, dimana suatu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dan
apabila ingin melakukan perkawinan lagi seorang suami harus memenuhi syaratsyarat
untuk melakukan perkawinan lagi. Dengan penipuan yang telah dilakukan
maka telah terjadi perkawinan tersebut. Hal ini tidak akan terjadi bila kedua belah
pihak saling mengetahui akan kebenaran dari status masing-masing. Menurut
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dimana seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai suami atau isteri. Maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena
putusan tersebut sesuai dengan hukum positif. Akibat hukum dari pembatalan
perkawinan adalah putusnya hubungan suami isteri antara Pemohon dan
Termohon karena terbukti bahwa Termohon sudah memiliki isteri sebelum
melakukan perkawinan dengan Pemohon. Dengan kata lain Termohon melakukan
penipuan dengan memalsukan identitas dirinya yang mana Termohon sudah
memiliki isteri. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Apabila suatu
perkawinan yang dibatalkan itu telah lahir anak-anak mereka, maka Keputusan
Pengadilan tentang batalnya suatu perkawinan tersebut tidak berlaku surut
terhadap anak-anak yang dilahirkan. Menurut pasal 76 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan
hubungan hukum antara anak dan orang tuanya”. Jadi dalam hal ini anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut tetap memiliki
hubungan hukum dengan ke dua orang tuanya dalam hal waris maupun sebagai
wali nikah. Mengenai harta bersama sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap harta bersama. Dalam perkara ini harta
bersama diserahkan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]