KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK/2006 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Abstract
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di samping Mahkamah Agung yang merupakan perwujudan dari
kebebasan kekuasaan kehakiman yang oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dibahasakan sebagai kekuasaan yang merdeka
adalah asas yang sangat penting dalam menjamin tegaknya negara hukum.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman memiliki
4 (empat) kewenangan dan 1(satu) kewajiban yaitu:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (PUU);
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di
berikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(SKLN);
c. Memutus pembubaran partai politik (PPP) dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), dan
e. Kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga dijalankan oleh hakim konstitusi dan hakim konstitusi tersebut
diawasi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi sebagai suatu
bentuk pengawasan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang
bersifat Ad hoc. Hal ini dikarenakan Komisi Yudisial tidak berwenang untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga dilandasi
dengan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang disangkakan kepada Arsyad
Sanusi dan Akil Mochtar dalam dugaan kasus penyuapan pemilukada Bengkulu
Selatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu
untuk mencoba mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan
mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Kajian
Yuridis Tentang Kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
10/PMK/2006 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.”
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Bagaimanakah wewenang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menurut Peraturan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 10/PMK/2006 Tentang Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan Bagaimanakah peranan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan supremasi hukum.
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk Untuk mengetahui dan menganalisis
wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menurut Peraturan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 10/PMK/2006 Tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Untuk mengetahui dan menganalisis
peranan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai badan pengawas
hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan supremasi
hukum. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conseptual approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
Pertama, Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi beranggotakan
lima orang terdiri atas dua orang berasal dari Hakim Panel Etik dan ditambah tiga
orang, masing-masing seorang guru besar senior dalam ilmu hukum, seorang
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]