Show simple item record

dc.contributor.authorACHMAD HARIS JANUARIANSYAH
dc.date.accessioned2014-01-24T14:36:50Z
dc.date.available2014-01-24T14:36:50Z
dc.date.issued2014-01-24
dc.identifier.nimNIM050710101131
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/23714
dc.description.abstractPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, untuk selanjutnnya disebut PERPU merupakan peraturan perundang-undangan formal yang dihasilkan oleh Presiden. Selama ini Pembentukan PERPU merupakan hasil penafsiran subyektif seorang Presiden atas ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak membentuk Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. Dari penafsiran subyektif inilah tidak menutup kemungkinan ada suatu upaya dilakukan oleh Presiden dalam rangka melakukan tindakan-tindakan inskontitusional guna mempertahankan suatu kekuasaan. Tidak jarang PERPU yang dihasilkan juga rentan bertentangan dengan UUD 1945 serta merugikan hak konstitusional warga negara. Bahkan tidak jarang pula suatu PERPU bertentangan dengan hak asasi manusia seperti yang terjadi dalam pembentukan PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Selain daripada it, implikasi penyalagunaan PERPU JPSK terlihat dalam ketentuan Pasal 29 yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan pihak yang mengeluarkan kebijakan atas dasar PERPU JPSK tidak dapat dihukum. Hal tentunya mengarah pada equality before the law serta menabrak konstitusi adalah tidak adanya kontrol dari kekuasaan kehakiman layaknya peraturan perundang-undangan lainnya yang mana dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke Mahkamah Agung (MA) sebagai konsekuensi dari Prinsip negara hukum yan dianut oleh Indonesia. Akibatnya PERPU baru dapat ditinjau apakah PERPU itu bermasalah atau tidak, ketika diajukan oleh Presiden dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang. Disisi lain tidak jelasnya upaya pencabutan PERPU dan bentuk hukum pencabutan PERPU juga melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,berdasarkan hal ini juga maka penulis mencoba untuk menganalisis pemberlakuan PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dari proses pengkajian PERPU JPSK disini ada tiga permasalahan. Pertama, Apakah PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sudah sesuai dengan UUD 1945. Kedua, apakah PERPU Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang tidak nyata-nyata diterima/ tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR masih berlaku sebagai landasan hukum bagi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketiga, upaya dan bentuk hukum apakah yang dapat dilakukan untuk mencabut PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas permasalahanpermasalahan yang dimaksud. Pertama, Mengetahui validitas PERPU Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) berdasarkan UUD 1945. Kedua, Mengetahui implikasi Kebijakan Pemerintah yang dihasilkan berdasarkan PERPU JPSK yang dalam persidangan berikutnya tidak ditolak maupun tidak mendapatkan persetujuan DPR untuk dijadikan Undang-Undang. Ketiga, Mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam mencabut PERPU Nomor. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) serta bentuk hukum apa yang digunakan dalam mencabut PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Metode penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif melalui beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan perundang-undangan; kedua, pendekatan asas hukum (legal principle aproach); ketiga, pendekatan historis (historical aproach); keempat,pendekatan konseptual (conceptual aproach). Kesimpulan yang diperoleh, pertama Bahwa berdasarkan pendekatan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, konsep negara hukum di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta materi muatan didalam PERPU JPSK , maka validitas PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK tidak sesuai dengan UUD 1945. Kedua Bahwa PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang tidak nyata-nyata diterima/ tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR masih sah berlaku sebagai landasan hukum bagi kebijakan yang dihasilkan atas PERPU JPSK tersebut. Karena salah satu landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu landasan yuridis mempunyai makna bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan itu harus mempunyai keabsahan hukum baik bersifat formil maupun materiil, sehingga selama tidak ada pihak yang keberatan terhadap keabsahan PERPU JPSK tersebut, maka PERPU JPSK itu tetap dianggap sah. Ketiga Bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam mencabut PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK selain melalui pengawasan legislatif dalam bentuk legislatif review DPR juga melalui constitutional control review pada organ kekuasaan MK. Sedangkan bentuk hukum pencabutan PERPU JPSK tersebut adalah dalam bentuk hukum Undang-Undang. Disamping itu bentuk hukum pencabutan tersebut juga dapat melalui Putusan lembaga yudisial pada organ kekuasaan MK. Saran yang diberikan, pertama, Seharusnya di dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang PPPU yang merupakan Undang-Undang organik terkait tentang pembentukan peraturan perundang-undangan memberi parameter tentang pembentukan suatu PERPU. Sehingga Eksekutif tidak hanya merujuk pada Pasal 22 ayat (1) yang masih bersifat umum. Melainkan bagaimana maksud dari Pasal 22 ayat (1) tersebut diperjelas dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang PPPU. Kedua, Seharusnya dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang PPPU ditambahkan klasula Pasal yang memberikan pernyataan yang jelas jika PERPU tidak nyata-nyata diterima ataupun tidak nyata ditolak oleh DPR, maka PERPU itu tidak dinyatakan berlaku. Sehingga nilai kepastian hukum dari suatu PERPU menjadi jelas, dan tentunya diharapkan Presiden dalam hal ini tidak bersikap pasif dengan segera membuat RUU tentang pencabutan PERPU. Ketiga, Mengingat Indonesia adalah menganut konsep negara hukum yang mana hukum menjadi pilar dalam setiap penyelenggaraan negara yang tidak terlepas dari kontrol kekuasaan kehakiman dalam setiap penyelenggaraan negara sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional dan hak asasi manusia, serta memperhatikan sikap inkonsistensi DPR yang dalam persidangan berikutnya belum tentu membahas suatu keabsahan PERPU untuk menjadi Undang-Undang, Maka sudah seharusnya juga setiap peraturan perundangundangan khususnya PERPU juga dapat diuji secara materiil maupun secara formil oleh lembaga yudisial pada organ kekuasaan MK apabila menciderai nilai-nilai hakhak asasi manusia dengan tanpa menunggu bentuk legislative review oleh DPR saat persidangan berikutnya yang belum jelas waktu dan pelaksanaanya demi tegaknya hak-hak konstitusional setiap warga negara Indonesia.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries050710101131;
dc.subjectPERATURAN PEMERINTAH PENGGGANTI UNDANG-UNDANGen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS TERHADAP BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGANen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record