ANALISIS YURIDIS TERHADAP BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
Abstract
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, untuk selanjutnnya disebut
PERPU merupakan peraturan perundang-undangan formal yang dihasilkan oleh
Presiden. Selama ini Pembentukan PERPU merupakan hasil penafsiran subyektif
seorang Presiden atas ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak
membentuk Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. Dari
penafsiran subyektif inilah tidak menutup kemungkinan ada suatu upaya dilakukan
oleh Presiden dalam rangka melakukan tindakan-tindakan inskontitusional guna
mempertahankan suatu kekuasaan. Tidak jarang PERPU yang dihasilkan juga rentan
bertentangan dengan UUD 1945 serta merugikan hak konstitusional warga negara.
Bahkan tidak jarang pula suatu PERPU bertentangan dengan hak asasi manusia
seperti yang terjadi dalam pembentukan PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan. Selain daripada it, implikasi penyalagunaan PERPU
JPSK terlihat dalam ketentuan Pasal 29 yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia dan pihak yang mengeluarkan kebijakan atas dasar PERPU
JPSK tidak dapat dihukum. Hal tentunya mengarah pada equality before the law serta
menabrak konstitusi adalah tidak adanya kontrol dari kekuasaan kehakiman layaknya
peraturan perundang-undangan lainnya yang mana dapat dilakukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke Mahkamah Agung (MA) sebagai
konsekuensi dari Prinsip negara hukum yan dianut oleh Indonesia. Akibatnya PERPU
baru dapat ditinjau apakah PERPU itu bermasalah atau tidak, ketika diajukan oleh
Presiden dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang.
Disisi lain tidak jelasnya upaya pencabutan PERPU dan bentuk hukum pencabutan
PERPU juga melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,berdasarkan hal
ini juga maka penulis mencoba untuk menganalisis pemberlakuan PERPU No. 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dari proses
pengkajian PERPU JPSK disini ada tiga permasalahan. Pertama, Apakah PERPU
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sudah sesuai dengan UUD 1945. Kedua, apakah PERPU Nomor 4 tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang tidak nyata-nyata diterima/ tidak
nyata-nyata ditolak oleh DPR masih berlaku sebagai landasan hukum bagi kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketiga, upaya dan bentuk hukum apakah yang
dapat dilakukan untuk mencabut PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas permasalahanpermasalahan
yang dimaksud. Pertama, Mengetahui validitas PERPU Nomor 4
Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) berdasarkan UUD
1945. Kedua, Mengetahui implikasi Kebijakan Pemerintah yang dihasilkan
berdasarkan PERPU JPSK yang dalam persidangan berikutnya tidak ditolak maupun
tidak mendapatkan persetujuan DPR untuk dijadikan Undang-Undang. Ketiga,
Mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam mencabut PERPU Nomor. 4 Tahun
2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) serta bentuk hukum apa
yang digunakan dalam mencabut PERPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Metode penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif
melalui beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan perundang-undangan; kedua,
pendekatan asas hukum (legal principle aproach); ketiga, pendekatan historis
(historical aproach); keempat,pendekatan konseptual (conceptual aproach).
Kesimpulan yang diperoleh, pertama Bahwa berdasarkan pendekatan Pasal
22 ayat (1) UUD 1945, konsep negara hukum di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945
serta materi muatan didalam PERPU JPSK , maka validitas PERPU No. 4 Tahun
2008 tentang JPSK tidak sesuai dengan UUD 1945. Kedua Bahwa PERPU Nomor 4
Tahun 2008 tentang JPSK yang tidak nyata-nyata diterima/ tidak nyata-nyata ditolak
oleh DPR masih sah berlaku sebagai landasan hukum bagi kebijakan yang dihasilkan
atas PERPU JPSK tersebut. Karena salah satu landasan pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu landasan yuridis mempunyai makna bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan itu harus mempunyai keabsahan hukum baik bersifat
formil maupun materiil, sehingga selama tidak ada pihak yang keberatan terhadap keabsahan PERPU JPSK tersebut, maka PERPU JPSK itu tetap dianggap sah.
Ketiga Bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam mencabut PERPU Nomor 4 Tahun
2008 tentang JPSK selain melalui pengawasan legislatif dalam bentuk legislatif
review DPR juga melalui constitutional control review pada organ kekuasaan MK.
Sedangkan bentuk hukum pencabutan PERPU JPSK tersebut adalah dalam bentuk
hukum Undang-Undang. Disamping itu bentuk hukum pencabutan tersebut juga
dapat melalui Putusan lembaga yudisial pada organ kekuasaan MK.
Saran yang diberikan, pertama, Seharusnya di dalam Undang-Undang No 10
Tahun 2004 tentang PPPU yang merupakan Undang-Undang organik terkait tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan memberi parameter tentang
pembentukan suatu PERPU. Sehingga Eksekutif tidak hanya merujuk pada Pasal 22
ayat (1) yang masih bersifat umum. Melainkan bagaimana maksud dari Pasal 22 ayat
(1) tersebut diperjelas dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang PPPU.
Kedua, Seharusnya dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang PPPU
ditambahkan klasula Pasal yang memberikan pernyataan yang jelas jika PERPU tidak
nyata-nyata diterima ataupun tidak nyata ditolak oleh DPR, maka PERPU itu tidak
dinyatakan berlaku. Sehingga nilai kepastian hukum dari suatu PERPU menjadi jelas,
dan tentunya diharapkan Presiden dalam hal ini tidak bersikap pasif dengan segera
membuat RUU tentang pencabutan PERPU. Ketiga, Mengingat Indonesia adalah
menganut konsep negara hukum yang mana hukum menjadi pilar dalam setiap
penyelenggaraan negara yang tidak terlepas dari kontrol kekuasaan kehakiman dalam
setiap penyelenggaraan negara sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional
dan hak asasi manusia, serta memperhatikan sikap inkonsistensi DPR yang dalam
persidangan berikutnya belum tentu membahas suatu keabsahan PERPU untuk
menjadi Undang-Undang, Maka sudah seharusnya juga setiap peraturan perundangundangan
khususnya PERPU juga dapat diuji secara materiil maupun secara formil
oleh lembaga yudisial pada organ kekuasaan MK apabila menciderai nilai-nilai hakhak
asasi manusia dengan tanpa menunggu bentuk legislative review oleh DPR saat
persidangan berikutnya yang belum jelas waktu dan pelaksanaanya demi tegaknya
hak-hak konstitusional setiap warga negara Indonesia.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]