ASPEK HUKUM PERWAKAFAN TANAH MILIK ORANG LAIN OLEH WAKIF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
Abstract
Rumusan masalah yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai
aspek hukum perwakafan tanah milik orang lain oleh wakif menurut Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, Akibat hukum perwakafan tanah
milik orang lain oleh wakif menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf, Penyelesaian sengketa wakaf apabila wakif mewakafkan tanah milik orang
lain.
Tujuan penelitian skripsi terbagi atas tujuan umum dan tujuan khusus yang
diharapkan tercapai dari penulisan skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan pendekatan masalah yang berupa pendekatan
undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, serta menggunakan analisis hukum dengan metode deduktif.
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: pertama, Harta yang di wakafkan oleh wakif harus harta benda miliknya sendiri bukan harta benda orang lain yang diwakafkan.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi wakif (pewakaf) yaitu mempunyai kecakapan
taburru’ dan yakin melepaskan hak milik tanpa imbalan materiil. Orang yang
dikatakan mempunyai ber-taburru’ apabila telah baliq (umur 15 tahun), berakal
sehat, dan tidak terpaksa (Azhari Basyir, 1987: 9 -10).Kedua, Dalam hal tanah
wakaf yang mengalami perwakafan tanah milik orang lain akan menimbulkan suatu
akibat dari hal tersebut. Perwakafan tanah hak milik tersebut akan berakibat yang
baik atau secara positif maupun berakibat yang buruk atau secara negatif. Hal ini
dikarenakan pro dan kontra dengan adanya perwakafan tanah milik tersebut baik
dari kalangan para ulama-ulama, pejabat-pejabat yang berwenang, masyarakat
umum ataupun pihak-pihak yang lainnya.Ketiga, Sejak tahun 2005 sampai sekarang
sengketa wakaf yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi
Agama dan Mahkamah Agung RI. Adapun dasar hukum bagi penyelesaian sengketa
wakaf dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Pasal 226 KHI menyebutkan: Penyelesaian sepanjang yang menyangkut
benda wakaf dan Nadzhir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa penyelesaian sengketa perwakafan dilakukan dengan cara:
musyawarah untuk mufakat, mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Pada
penjelasan pasal tersebut berbunyi: Yang dimaksud dengan mediasi adalah
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga(mediator) yang
disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Adapun saran dari penulis yaitu Adanya pengajuan tuntutan ke Pengadilan
bagi pihak yang merasa haknya dilanggar merupakan suatu keharusan untuk
menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari
keadilan dan dianggap memberikan suatu kepastian hukum karena putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Collections
- UT-Faculty of Law [6257]