Perkembangan Populasi OPT Tanaman Padi di Daerah Penanaman Padi Sistem IP 300 Pasca Implementasi PHT
Abstract
Upaya peningkatan dan pengamanan produksi beras nasional masih perlu
mendapatkan perhatian, mengingat masalahnya sangat kompleks termasuk
berbagai kendala yang bersifat fisik maupun biologis sebagai dampak perubahan
iklim global. Salah satu kendala biologi ialah masalah gangguan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) yang menyebabkan penurunan produksi kuantitas
maupun kualitas dan bahkan terjadinya kegagalan panen. Pada awal era reformasi
tahun 1998, Deptan telah mencanangkan program Gema Palagung (Gerakan
Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) yang menetapkan komponen intensitas
pertanaman (IP) yaitu IP 200 dan IP 300 sebagai sistem penanaman. Pola tanam
pada IP 200 yaitu padi-kedelai, padi-jagung atau padi-padi, sedangkan pada
IP 300 diterapkan pola tanam padi-padi-kedelai, padi-padi-jagung atau padi-padipadi.
Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau (Juni – Agustus 2009),
yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan populasi OPT pada tanaman padi
di daerah IP 300 pasca implementasi pengelolaan hama terpadu (PHT) dan
perubahan perilaku serta kebiasaan petani dalam upaya mengatasi masalah OPT
tanaman padi.
Lokasi penelitian di Kabupaten Jember (Banjarsengon dan Lampeji) dan
Banyuwangi (Jajag dan Kaligondo). Populasi OPT pada lahan tanaman padi yang
dikelola petani sekolah lapangan pengelolaan hama terpadu (SLPHT) dan non
SLPHT diamati dan dibedakan antara hama atau penyakit. Perbedaan antara dua
perlakuan yaitu perkembangan OPT pada lahan yang dikelola petani SLPHT dan
non SLPHT, dianalisis menggunakan uji t-student berdasarkan data yang
diperoleh dari 15 petak contoh untuk setiap perlakuan.
Pasca implementasi PHT pada empat desa contoh yang menerapkan sistem
tanam padi IP 300, gangguan OPT (hama dan penyakit) di lahan yang dikelola
petani SLPHT maupun non SLPHT masih ditemukan. Gangguan OPT yang
paling dominan (ditemukan di setiap desa contoh) yaitu hama penggerek batang
padi putih (Scirpophaga innotata Walker) dan penyakit tungro. Selain penggerek
batang ditemukan pula beberapa hama yaitu walang sangit (Leptocorisa acuta
Thunb.), hama putih (Nymphula depunctalis Gn.), belalang (Patanga succinta
Linn.) dan tidak ditemukan wereng daun hijau (Nephotettix virescens Distant)
yang berperan sebagai vektor virus tungro.
Terdapatnya insiden penyakit tungro di semua desa contoh, tanpa adanya
wereng daun hijau sebagai vektor virus tungro dapat terjadi karena di lahan
percobaan tersedia sumber inokulum dan petani melakukan aplikasi insektisida
kimiawi yang bersifat sistemik. Berdasarkan interaksi vektor dengan virus tungro
yang bersifat semi persisten, penggunaan insektisida yang bersifat sistemik masih
memungkinkan serangga vektor dalam waktu singkat menularkan virus tungro
pada tanaman sehat sebelum terbunuh akibat insektisida.
Kepadatan populasi (penggerek batang padi putih dan tungro) berdasarkan
hasil pengujian tidak selalu lebih tinggi pada lahan yang dikelola petani SLPHT.
Hal tersebut menunjukkan bahwa petani SLPHT maupun non SLPHT di dalam
upaya pengendalian OPT belum menerapkan prinsip-prinsip PHT dengan benar.
Penerapan prinsip-prinsip PHT dengan benar perlu diterapkan terutama
pada lokasi yang menerapkan sistem tanam IP 300, untuk jangka panjang perlu
diantisipasi kemungkinan adanya ledakan OPT dengan melakukan pergiliran
varietas tahan, memperbaiki teknik budidaya tanaman, dan mengurangi
penggunaan pestisida kimiawi.
Collections
- UT-Faculty of Agriculture [4334]