Tindak Pidana Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga pada Perkawinan Siri
Abstract
Pernikahan siri mengacu pada jenis ikatan perkawinan yang memiliki keabsahan dalam agama Islam, namun tidak memiliki pengakuan hukum dari otoritas pemerintah. Perkawinan siri bertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dampak yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak diakui oleh hukum positif di Indonesia adalah tidak mendapat payung hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga apabila terjadi KDRT. Isu hukum yang diulas yaitu pertama, pertimbangan hakim pada kasus KDRT pada perkawinan siri yang didasarkan pada asas lex specialis derogate legi generali. Kedua, pengajuan restitusi oleh korban tindak pidana KDRT dari perkawinan siri. Tipe penelitian yaitu penelitian hukum (legal research) dan bersifat yuridis normatif. Pendekatan dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan dua cara yang berbeda, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Korban KDRT memiliki pilihan untuk mengajukan restitusi, yang dapat dilakukan melalui penggabungan perkara ganti kerugian atau dengan melibatkan LPSK. Pengajuan restitusi melalui LPSK diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 yang secara khusus membahas tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 18 huruf f dari peraturan ini mengatur secara spesifik mengenai pengajuan restitusi. Pelaksanaan restitusi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU PKDRT.
Collections
- UT-Faculty of Law [6361]