Peramalan Harga Cabai Merah Besar di Provinsi Jawa Timur Menggunakan Metode ARIMA Box-Jenkins
Abstract
Cabai merah besar (Capsicum annuum L.) memainkan peranan penting
dalam sektor pertanian Indonesia dan memiliki dampak ekonomi yang signifikan.
Pada bulan November 2023, data dari BPS Jatim menunjukkan bahwa cabai merah
besar berkontribusi signifikan terhadap inflasi, dengan kenaikan harga sebesar
46,69% dan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,0501%. Mengingat pentingnya
cabai merah dalam ekonomi dan dampaknya terhadap inflasi, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis perubahan harga cabai merah besar di Provinsi Jawa
Timur dan menghasilkan prediksi harga untuk periode 12 bulan ke depan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode
ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), yang merupakan teknik
analisis deret waktu yang terkenal dalam memodelkan data. Model ARIMA
memungkinkan pemodelan fluktuasi harga berdasarkan data historis dan
menghasilkan proyeksi harga yang dapat digunakan untuk perencanaan dan
pengambilan keputusan.
Hasil dari analisis ini mengungkapkan bahwa harga cabai merah besar
menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan sepanjang periode penelitian. Puncak
harga terjadi pada bulan Juli dalam rentang waktu 2019 hingga 2023. Model
ARIMA (2,0,0) teridentifikasi sebagai model yang paling efektif untuk meramalkan
harga cabai merah besar, dengan proyeksi harga yang diperkirakan berada dalam
rentang Rp. 28.205 hingga Rp. 34.005 per kilogram untuk 12 bulan ke depan.
Model dugaan sementara dilakukan dengan mengidentifikasi plot ACF dan
PACF. Plot ACF menunjukkan pola cut-off setelah lag 2 dengan penurunan
eksponensial, sementara plot PACF menunjukkan pola cut-off setelah lag 2 dan
kemudian turun drastis ke 0. Berdasarkan pola-pola ini, terdapat dua dugaan model
potensial yang dapat dipertimbangkan: Model AR(2) dan AR(1). Model AR(2)
mencakup dua komponen autoregresi, yang dapat menangkap kompleksitas
hubungan temporal dalam data dengan lebih detail. Sebaliknya, Model AR(1) hanya melibatkan satu komponen autoregresi, yang mungkin lebih sederhana
namun juga bisa cukup efektif dalam beberapa kasus.
Perbedaan utama antara kedua model ini adalah jumlah komponen
autoregresi yang digunakan untuk memprediksi nilai saat ini berdasarkan nilai
sebelumnya. Model AR(2) mungkin lebih sesuai jika data menunjukkan pola yang
kompleks atau memiliki keterkaitan yang lebih dalam dengan lag sebelumnya,
sedangkan Model AR(1) bisa lebih efektif untuk data yang menunjukkan pola yang
lebih sederhana.
Untuk menentukan model mana yang lebih baik, analisis lebih lanjut
diperlukan, termasuk evaluasi performa dan akurasi prediksi model terhadap data
yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan mengukur kesalahan prediksi dan
mengevaluasi apakah model tersebut memenuhi asumsi-asumsi yang diperlukan
untuk analisis lebih lanjut. Pendekatan ini akan memastikan bahwa model yang
dipilih tidak hanya sesuai dengan pola yang terlihat pada plot ACF dan PACF tetapi
juga memberikan hasil yang optimal dalam praktek.
Evaluasi akurasi model menunjukkan nilai RMSE (Root Mean Squared
Error) sebesar 11.951,9, yang menandakan adanya tingkat kesalahan prediksi yang
relatif besar. Meskipun demikian, nilai MAPE (Mean Absolute Percentage Error)
sebesar 12,32% menunjukkan bahwa kesalahan peramalan rata-rata berada pada
tingkat yang dapat diterima, mengindikasikan bahwa model ARIMA (2,0,0)
mampu memberikan proyeksi yang cukup baik meskipun ada beberapa
ketidakpastian.
Penelitian ini memberikan wawasan mendalam mengenai dinamika harga
cabai merah dan menunjukkan bahwa metode ARIMA dapat digunakan secara
efektif untuk peramalan harga komoditas pangan. Hasil penelitian ini dapat
membantu pembuat kebijakan, petani, dan pelaku pasar dalam merencanakan
strategi yang lebih baik untuk mengelola harga cabai merah, mengurangi dampak
inflasi, dan meningkatkan stabilitas harga. Dengan memahami pola harga dan
efektivitas model peramalan, pihak terkait dapat mengembangkan strategi mitigasi
yang lebih tepat dan responsif terhadap fluktuasi harga.