Perkembangan Hukum Pidana dalam Lingkup Kesusilaan di Indonesia: Analisa Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023
Abstract
Sebelum kedatangan Belanda yang diprakarsai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, masyarakat Indonesia mengenal dan mempraktekkan hukum pidana adat. Kebanyakan hukum pidana adat tidak tertulis bersifat regional dalam arti hanya berlaku di wilayah adat tertentu, dan disamping hukum pidana
adat itu kontaknya dengan agama yang diwakili oleh mayoritas penduduk. Kekhasan hukumnya adalah pidana adat yang bersifat umum. Pelanggaran kesopanan dibentuk untuk memastikan pertemuan yang sah (Rechtbelang) dengan rasa kebaikan publik, termasuk rasa kesopanan. Selain berdasarkan
standar hukum yang berwibawa, kehidupan sosial manusia dalam pergaulan dengan orang lain juga didasarkan pada standar sosial, yaitu standar keramahtamahan tertentu. Standar kesusilaan bersandar pada tujuan menjaga ketenangan dalam hal rasa kebaikan bagi setiap manusia dalam kehidupan
sosial. Tolok ukur perilaku pantas atau tidak patut yang dianggap melanggar batas-batas hukum dalam hal kebaikan tidak hanya bersifat pribadi, tetapi atau mungkin bersifat menyeluruh, meskipun mungkin saja ada hal-hal tertentu yang lebih terbatas pada lingkaran sosial tertentu. Nilai-nilai kesopanan yang
dipelihara oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan karakter lingkungan masyarakat dan sesungguhnya suatu negara (bersifat kebangsaan), telah dianut dalam standar yang sah berkenaan dengan kezaliman terhadap kebaikan tersebut.
Dalam upaya negara untuk menjamin terpeliharanya nilai-nilai toleran yang dipelihara oleh warga negaranya, maka bentuk pengaturan tindak pidana dalam Bab XIV buku II KUHP tentang pelanggaran terhadap kesusilaan (dalam Bab VI buku III KUHP tentang pelanggaran kesopanan. Pembagian
pelanggaran kesusilaan tersebut di atas sesuai dengan kerangka KUHP yang mengenal antara pelanggaran buku II dan pelanggaran buku III. Berdasarkan renungan pembuat undang-undang sehubungan dengan protes kebaikan dalam masyarakat, dapat dikenali antara serangan terhadap kesusilaan dengan desain
kesalahan di mana sifat serangan terhadap antarmuka yang sah sehubungan dengan rasa kesusilaan lebih berat daripada serangan terhadap rasa hormat. kesopanan dengan desain pelanggaran, undang-undang ini membagi tindakan Kejahatan kesusilaan ini, yang menjadi pelanggaran kesusilaan, dimuat dalam bab XIV (Misdrijven tegen de zeden) pasal 281-303 bis dan pelanggaran kesopanan bab VI (Overtredingen betreffende de zeden) pasal 532-547. Menurut Wirjono Prodjodikoro, pelanggaran kesusilaan, pelanggaran
kesusilaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pelanggaran terhadap kesusilaan (Zedelijkheid). Untuk kesalahan menyalahgunakan kebaikan ada pasal 281 sampai dengan 299, sedangkan untuk pelajaran pertama pelanggaran kesusilaan
didefinisikan dalam pasal 532 sampai dengan 535.
2. Hal-hal, untuk pelanggaran kesopanan ini ditentukan dalam Pasal 300
sampai dengan 303. Sementara itu untuk macam-macam pelanggaran
terhadap kesusilaan (kecuali hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal
seksual) ditentukan dalam Pasal 536 sampai dengan 547.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini berasal dari hukum
kolonial Belanda (wetboek van penal code) dan tidak terlalu sesuai dengan
keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Pasca kemerdekaan, baik di era
demokrasi induksi maupun era Orde Baru, hukum pidana Belanda tetap berlaku,
termasuk hatzai altien (pasal-pasal yang menghasut kebencian) terhadap
pemimpin politik, pejabat, atau suku. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa
syarat-syarat perubahan undang-undang adalah adil, sesuai dengan realitas
berbasis nilai yang ada di masyarakat, dan dinyatakan secara tegas dalam
Pembukaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Bahan hukum yang dicantumkan harus disesuaikan dengan kebijakan hukum,
keadaan, perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Lebih
lanjut disebutkan bahwa tujuan penyusunan KUHP mencerminkan upaya untuk
mereformasi hukum nasional negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 serta untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Perlunya reformasi hukum pidana (Criminal Law Reform) di Indonesia sejalan
dengan hasil United Nations Conference on Crime Prevention and Treatment
of Offenders tahun 1976. Isi kongres adalah bahwa hukum pidana yang berlaku
di berbagai negara sebelumnya berasal dari hukum asing sejak masa kolonial,
yang pada umumnya asing dan tidak adil juga usang dan tidak sesuai dengan
kenyataan (ketinggalan zaman dan tidak realistis), karena tidak berakar pada
nilai budaya, bahkan bertentangan dengan tuntutan masyarakat, dan tidak
menjawab kebutuhan masyarakat saat ini. Artinya, upaya untuk melakukan
kajian dan evaluasi kembali sesuai dengan nilai-nilai inti sosio-politik sosialfilosofis sosial budaya masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa makna dan
esensi revisi KUHP adalah sebagai berikut.
1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, reformasi peradilan pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya penanganan masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam kerangka
mencapai/mendukung tujuan nasional (seperti kesejahteraan
masyarakat).
2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, reformasi peradilan pidana
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat,
khususnya upaya pemberantasan kejahatan.
3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, reformasi peradilan
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penataan kembali
sistem hukum agar penegakan hukum lebih efektif
Collections
- UT-Faculty of Law [6263]