Pertanggungjawaban Pidana dan Prospektif Perlindungan Korban Anak Disabilitas dalam Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Nomor 23/Pid.Sus/2020/PN-Lmj)
Abstract
Tindak kekerasan seksual merupakan ancaman yang dapat terjadi
dimanapun dan kapanpun bagi perempuan di dunia. Tidak hanya dialami oleh
perempuan dewasa, kasus kekerasan seksual terhadap anak seringkali
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi,
korban kekerasan seksual merupakan penyandang disabilitas. Salah satunya
terjadi pada kasus dalam putusan Nomor 23/Pid.Sus/2020/PN-LMJ. Persetubuhan
yang dilakukan oleh pria dewasa terhadap anak disabilitas. Permasalahan yang
muncul dari kasus dalam penelitian skripsi ini yang pertama, pertimbangan hakim
menjatuhkan putusan pemidanaan berdasarkan Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan
Anak sesuai dengan perbuatan terdakwa dalam Putusan Nomor
23/Pid.Sus/2020/PN-LMJ. Kedua, penjatuhan sanksi pidana dalam Putusan
Nomor 23/Pid.Sus/2020/PN-LMJ sesuai dengan perlindungan korban anak
disabilitas. Tujuan dari penelitian skripsi ini yang pertama, untuk menganalisis
kesesuaian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 81
ayat (1) UU Perlindungan Anak sesuai dengan perbuatan terdakwa dalam Putusan
Nomor 23/Pid.Sus/2020/PN-LMJ. Dan yang kedua, untuk mengalisis penjatuhan
pidana penjara dalam Putusan Nomor 23/Pid.Sus/2020/PN-LMJ dengan
perlindungan korban anak disabilitas.
Metode penelitian dalam tugas akhir ini menggunakan metode yuridis
normatif sebagai pendekatan masalah. Pendekatan yang digunakan dalam
penulisan penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach), serta pendekatan konseptual (Conceptual approach). Sumber-sumber
penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum
primer yaitu undang-undang dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku
ilmu hukum, jurnal hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli, laporan hukum,
kamus-kamus hukum serta karya ilmiah lainnya. Metode pengumpulan bahan
hukum yang digunakan juga berupa study kepustakaan, internet browsing, analisa
artikel ilmiah, karya tulis sarjana serta jurnal hukum yang memberikan informasi
terkait permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil yang muncul dalam penelitian berdasarkan putusan ini, hakim
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Alternatif
pertama yakni Pasal 81 Ayat (1). Namun tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa memenuhi dan sesuai dengan Pasal dalam dakwaan Alternatif kedua
yakni Pasal 81 Ayat (2). Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa sebelum
melakukan tindak pidana persetubuhan tersebut, terdakwa mengajak korban untuk
masuk kerumahnya dengan cara membujuk dan menawarkan memberi kue.
Ajakan ini menunjukan adanya bujukan serta tipu muslihat yang dilakukan oleh
terdakwa agar korban dapat masuk kerumah terdakwa sehingga ia dapat
melakukan tindak pidanan tersebut. Selain itu, setelah kejadian itu terjadi, korban
pun diancam akan dibunuh apabila ia melaporkan kejadian ini kepada orang
tuanya. Ancaman kekerasan ini pun dapat memperkuat bahwa dakwaan yang
sesuai dengan perbuatan terdakwa merupakan Pasal 81 Ayat (2). Seperti yang kita
ketahui, vonis yang ditetapkan oleh hakim dalam putusan ini ditujukan untuk terdakwa sebagai bentuk akibat dari tindakan yang telah ia lakukan. Namun vonis
tersebut tidak memiliki dampak terhadap korban secara langsung. Seperti yang
diatur dalam KUHP Pasal 72 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pidana Tambahan
yang dapat dijatuhkan salah satunya adalah pembayaran ganti rugi. Pemberian
Restitusi dapat dipertimbangkan oleh hakim sebagai upaya pemenuhan hak anak
sebagai bentuk perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual. Hal ini
dapat menjadi bentuk sanksi yang digunakan oleh hakim sebagai sanksi tambahan
dengan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan hal hal yang
meringankan sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Hakim dalam memberikan keputusan atas tindak pidana kekerasan seksual
seperti dalam putusan ini, harus berdasarkan pada fakta yang terjadi dalam
persidangan. Khususnya dalam kasus ini bahwa fakta yang muncul dalam
persidangan terdapat unsur tipu muslihat yang dilakukan oleh terdakwa terhadap
korban saat mengajak kerumah terdakwa. Hal ini diatur dalam dakwaan kedua
yang diajukan oleh penuntut umum. Sedangkan hakim memutus vonis terhadap
terdakwa berdasarkan dakwaan pertama. Sebagai wujud perlindungan terhadap
korban tindak pidana kekerasan seksual, negara diharapkan dapat mewujudkan
sanksi yang memiliki dampak untuk korban. Baik melalui restitusi maupun bentuk
ganti rugi lain. Hal ini dapat diwujudkan melalui penegak hukum yang
memberikan pemahaman terhadap korban maupun keluarga korban, bahwa selain
dengan melaporkan tindakan yang dilakukan oleh terdakwa, pihak korban maupun
keluarga korban dapat mengajukan permohonan restitusi, maupun ganti rugi lain.
Collections
- UT-Faculty of Law [6217]