Konsep Hukum Perintah Atasan kepada Bawahan dalam Lingkup Kepolisan (Studi Putusan 798/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel)
Abstract
Terjadi sebuah kasus pada beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada
tanggal 8 Juli 2022, dimana seorang anggota polisi yang berkedudukan sebagai
bawahan sebagai Bhayangkara Dua atau Bharada, yakni Richard Eliezer Pudihang
Lumiu melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dengan korbannya yakni
Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Pembunuhan tersebut diperintahkan oleh
atasannya yakni Irjen Ferdy Sambo selaku sebagai atasan daripada Bharada
Eliezer, untuk membunuh Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat dengan cara
ditembak menggunakan sebuah Pistol Jenis Glock-17 dan HS 9. Dalam perkara
tersebut, adapun beberapa rumusan masalah yaitu: (1) Apakah pertimbangan
hakim yang menyatakan bahwa terdakwa tidak memenuhi unsur alasan penghapus
pidana perintah jabatan sudah tepat? (2) Apakah pertimbangan hakim yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak meenuhi unsur daya paksa sudah tepat?
Jenis penelitan yang digunakan sebagai landasan dalam penilitian hukum
ini yaitu dengan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan
pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan menggunakan metode analisis
deduktif yang berkolerasi menghasilkan kesimpulan dan saran berdasarkan pada
isu hukum. Pada penelitian ini, kajian pustaka yang digunakan adalah mengenai
pertanggungjawaban pidana, kepolisian Republik Indonesia, alasan penghapus
pidana, dan kesalahan dalam hukum pidana.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis kemudian menghasilkan jawaban
atas rumusan masalah. Pertama mengenai melakasnakan perintah jabaatan dalam
alasan penghapus pidana dalam pertimbangan hakim dalam perkara
798/Pid.B/2022/Pn.Jkt.Sel, hakim mempertimbangkan perintah jabatan dalam
alasan peghapus pidana, akan tetapi hakim mengesampingkan hal tesebut karena
pada fakta dalam persidangan tersebut, hakim menganggap bahwasannya terdakwa tidak memenuhi hal-hal yang memenuhi dalam perintah jabatan dalam
alasan penghapus pidana, namun hakim menganggap terdakwa sebagai seorang
justice collaborator. Kedua, terdakwa juga tidak memenuhi unsur-unsur yang
terdapat dalam daya paksa dalam alasan penghapus pidana.
Setelah dibahas pada bab pembahasan, maka adapun kesimpulan yang
dapat ditarik yaitu hakim menganggap bahwasannya terdakwa tidak memenuhi
hal-hal yang memenuhi dalam perintah jabatan dalam alasan penghapus pidana.
Fakta persidangan juga menjelaskan bahwsannya terdakwa melakukan
pelanggaran yang sesuai atau tertulis dalam KUHP, sehingga yang dilakukan
terdakwa termasuk dalam pelanggaran dalam pidana umum dengan KUHAP
sebagai sumber formil. Hakim juga menganggap terdakwa merupakan seorang
justice collaborator, dimana terdakwa merupakan seorang pelaku sekaligus
menjadi saksi yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Sebagai seorang
justice collaborator, terdakwa berhak mendapatkan remisi, dimana remisi
merupakan pengurangan masa pidana penjara terhadap terdakwa. Sehingga
terdakwa hanya menerima pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
Kedua, hakim juga mempertimbangkan bahwasannya terdakwa tidak memenuhi
unsur-unsur yang terdapat pada daya paksa dalam alasan penghapus pidana.
Dalam daya paksa harus terdapat adanya tekanan atau paksaan yang diberikan dari
orang yang memaksa tersebut, akan tetapi orang yang memerintahkan terdakwa
yakni FS, sama sekali tidak memaksa terdakwa untuk membunuh korban Y, justru
FS menawarkan bantuan kepada terdakwa apabila nanti terjadi sesuatu terhadap
terdakwa. Dalam daya paksa sendiri juga orang yang dipaksa tersebut tidak
memiliki waktu yang cukup banyak untuk tidak melakukan apa yang dipaksakan
oleh orang yang memaksa, akan tetapi terdakwa masih memiliki cukup waktu
untuk bisa menolak atau bahkan membantu korban untuk menghindari insiden
tersebut.
Collections
- UT-Faculty of Law [6217]