Keberadaan Tempat Ibadah Tri Dharma (Klenteng) di Banyuwangi Tahun 1967-2020
Abstract
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana latar belakang berdirinya Klenteng di Banyuwangi, menjelaskan kegiatan yang dilaksanakan di Klenteng Banyuwangi, dan mengetahui dampak dari kebijakan pemerintah tentang Tionghoa di Banyuwangi tahun 1967-2020. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang tahapannya terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi agama dan menggunakan teori fakta sosial Emil Durkheim. Hasil penelitian terkait keberadaan klenteng di Banyuwangi berawal dari kebijakan masa Orde Baru yang bersifat diskriminatif dan membuat klenteng pada masa itu menjadi sepi pengunjung karena tidak ada perayaan khusus yang dilakukan saat Imlek. Tetapi saat Reformasi, hal-hal yang dulunya dilakukan secara terbatas sudah dapat dilakukan secara terbuka sejak pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang memberi kebebasan kepada orang-orang Tionghoa. Selain kegiatan keagamaan, pengurus klenteng melakukan kegiatan sosial yang juga melibatkan warga sekitar, seperti donor darah, pembagian sembako, pengobatan gratis, hingga pentas hiburan yang membuat pandangan masyarakat terhadap orang-orang Tionghoa semakin baik. Bahkan tahun 2018 festival Imlek masuk dalam kalender Banyuwangi festival, dan pada 2020 Bupati Banyuwangi juga meresmikan Pecinan Street Food. Aktivitas sosial budaya yang ada di Klenteng Banyuwangi dapat dikatakan mengalami kemajuan, banyaknya ras suku bangsa yang ada tidak menjadikan keanerakaragaman tersebut sebagai bentuk masalah baru dan menerapkan asimilasi yang sifatnya diskriminatif. Melainkan memanfaatkan keanekaragaman yang ada menjadi potensi untuk mengenalkan ke masyarakat luas perihal keragaman budaya yang dimiliki Indonesia, serta menumbuhkan rasa toleransi antar umat beragama yang hidup dalam lingkungan yang sama agar selalu hidup damai dan rukun.