Model Governansi dan Kelembagaan Wisata Bahari di Kabupaten Jember
Abstract
Pantai Payangan, Watu Ulo, dan Tanjung Papuma merupakan destinasi wisata bahari
yang berada di Kabupaten Jember. Secara geografis ketiganya berdekatan, sehingga
potensial menjadi tempat wisata favorit dan bisa dikolaborasikan. Namun fenomena
yang muncul di lapangan hal tersebut sulit dilakukan, karena ada kesenjangan pada
sisi governansi berupa kontribusi Pendapatan Asli Daerah yang beragam,
keterlibatan para pihak yang variatif, dan pertukaran sumber daya berbeda antar
masing-masing tempat wisata. Sedangkan kesenjangan sisi kelembagaan, meliputi
regulasi atau formal constraints tentang kepariwisataan pada masing-masing tempat
wisata berbeda-beda, dan dinamika ketentuan informal (informal constraints)
dimasing-masing tempat wisata juga berbeda. Di sisi lain, penelitian terdahulu yang
membahas tentang governansi dan kelembagaan secara bersama-sama masih belum
peneliti jumpai, sehingga hal ini menarik ditindaklanjuti dalam penelitian lebih
lanjut.
Bertitik tolak dari fenomena kesenjangan governansi dan kelembagaan serta belum
adanya penelitian yang membahas governansi dan kelembagaan secara bersamasama, maka, maka tujuan penelitian adalah: Pertama, mengindentifikasi situasi
masalah governansi dan kelembagaan wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan
Tanjung Papuma. Kedua, menjelaskan situasi masalah governansi dan kelembagaan
wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan Tanjung Papuma. Ketiga, mendefinisikan
akar masalah governansi dan kelembagaan wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan
Tanjung Papuma. Keempat, mendesain model konseptual kelembagaan wisata bahari
secara parsial maupun kolaboratif. Kelima, menganalisis komparasi model
konseptual kelembagaan wisata bahari dengan kondisi riil di lapangan secara parsial
maupun kolaboratif, dan keenam, mengembangkan konsep perubahan berdasarkan
hasil komparasi untuk memperbaiki situasi masalah secara parsial maupun
kolaboratif.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan Soft System Methodology (SSM). SSM menurut Checkland & Poulter
(2020), adalah kerangka konseptual yang digunakan untuk memecahkan masalah
kompleks dengan mengidentifikasi, memodelkan dan mendefinisikan perubahannya
melalui 6 (enam) tahapan, meliputi: Situasi masalah, penjelasan situasi masalah,
definisi akar masalah atau root definition, model konseptual, perbandingan model
konseptual dan dunia nyata, serta mendefinisikan perubahan yang diimplementasikan
secara sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan: Pertama,
situasi masalah governansi dan kelembagaan di tiga tempat wisata tersebut adalah
sebagai berikut: (1) Hasil analisis menunjukkan bahwa masalah governansi dan
kelembagaan di Watu Ulo terdiri dari 21 masalah. Hal ini disebabkan oleh kelalaian
dalam penerapan regulasi governansi (formal constraints) dan minimnya respons
terhadap keterlibatan masyarakat lokal (informal constraints). (2) Ditemukan 24
masalah dalam governansi dan kelembagaan di Payangan. Hal ini disebabkan oleh
kelompok-kelompok pengelola tidak menegakkan regulasi governansi (formal
constraints), dan adanya hambatan partisipasi pada sebagian masyarakat lokal
(informal constraints), dan (3) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di
Tanjung Papuma berdasarkan hasil analisis terdapat 18 masalah yang disebabkan
karena pengelola hanya fokus pada penegakan regulasi governansi (formal
constraints), Namun disisi yang lain mengabaikan keterlibatan masyarakat lokal
(informal constraints) secara partisipatif.
Kedua, penjelasan situasi masalah governansi dan kelembagaan di tiga tempat wisata
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di
Watu Ulo menunjukkan bahwa pengelola lalai dalam menegakkan regulasi
governansi (formal constraints) secara konsisten sesuai dengan tujuan
pengembangan wisata bahari. Tujuan tersebut mencakup peningkatan devisa negara,
penguatan kapasitas sumber daya manusia, dukungan terhadap pengembangan akses
infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pengelola juga
kurang memperhatikan aspek informal constraints yang dimiliki oleh masyarakat
lokal sebagai bagian dari governansi. Padahal, kolaborasi formal constraints dan
informal constraints tidak hanya memperkuat governansi, namun lebih dari itu,
kolaborasi formal constraints dan informal constraints memperkuat kelembagaan
yang ada di Watu Ulo. (2) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di Payangan
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok pengelola tidak menegakkan regulasi
governansi (formal constraints), karena masing-masing kelompok hanya mengejar
keuntungan ekonomi. Disisi lain, keterlibatan masyarakat lokal secara partisipatif
terhalang oleh hegemoni kelompok-kelompok pengelola, sehingga masyarakat lokal
tidak mendapatkan manfaat secara maksimal. Tidak ditegakkannya formal
constraints dan informal constraints menjadi penyebab buruknya kelembagaan yang
menghambat terjadinya governansi yang baik, dan (3) Situasi masalah governansi
dan kelembagaan di Tanjung Papuma menunjukkan bahwa pengelola sudah
melaksanakan regulasi governansi (formal constraints) secara konsisten, sehingga
sebagian tujuan pengembangan wisata bahari tercapai, seperti kontribusi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang lebih besar dibandingkan Watu Ulo. Namun pada sisi lain,
pelibatan masyarakat lokal yang memiliki informal constraints baik, cenderung
diabaikan oleh pengelola karena governansinya cenderung tertutup, sehingga
penguatan informal constraints penting kedepan dalam memperkuat kelembagaan
Tanjung Papuma.
Ketiga, definisi akar masalah menunjukkan bahwa governansi merupakan bagian
integral dari kelembagaan, sebagai dimensi formal constraints yang dapat
disandingkan dan ditegakkan dengan dimensi lain dari kelembagaan, yaitu informal
constraints. Oleh karena itu, definisi akar masalah secara parsial maupun kolaboratif
pada tahap ketiga ini adalah kelembagaan, dengan penjelasan sebagai berikut: (1)
Definisi akar masalah untuk Watu Ulo: Pada wisata bahari yang dikelola oleh
pemerintah lokal (P) perlu kepatuhan terhadap regulasi governansi atau formal
constraints, dan memperhatikan atau berpihak pada masyarakat lokal atau informal
constraints (Q) untuk mencapai governansi yang berkelanjutan (R). (2) Definisi akar
masalah untuk Payangan: Pada wisata bahari yang dikelola oleh kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki tujuan masing-masing (P) perlu ada konsensus dalam
menegakkan regulasi governansi atau formal constraints secara patuh, dan
melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh atau informal constraints (Q) untuk
mencapai governansi yang berkelanjutan (R). (3) Definisi akar masalah untuk
Tanjung Papuma: Pada wisata bahari yang dikelola oleh quasi private (P) governansi
atau formal constraints yang sudah dijalankan dengan baik, perlu melibatkan
masyarakat lokal atau informal constraints (Q) untuk mencapai governansi yang
berkelanjutan (R), dan (4) Definisi akar masalah kolaboratif merujuk pada poin 1-3:
Pada wisata bahari yang kolaboratif (P) penegakan formal constraints dan informal
constraints secara bersama-sama penting dilakukan oleh masing-masing pengelola
(Q) sebelum dan saat berkolaborasi untuk mencapai governansi yang berkelanjutan
(R).
Keempat, model konseptual berdasarkan definisi akar masalah, baik secara parsial
maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Model konseptual untuk Watu Ulo
dibangun dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang
dikelola oleh pemerintah lokal perlu kepatuhan terhadap regulasi governansi (formal
constraints), dan berpihak pada masyarakat lokal (informal constraints). Pandangan
tentang dimensi formal constraints dan informal constraints merupakan
pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), teori tingkatan
kelembagaan Williamson (2000), pada kelembagaan tingkat kedua. (2) Model
konseptual untuk Payangan dikonstruksi dari definisi akar masalah yang menyatakan
bahwa wisata bahari yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki tujuan masing-masing perlu ada konsensus dalam menegakkan regulasi
governansi atau formal constraints, dan melibatkan masyarakat lokal secara
menyeluruh atau informal constraints. Pandangan kolaborasi formal constraints dan
informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan
Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada
kelembagaan tingkat pertama. (3) Model konseptual untuk Tanjung Papuma
dikerangkai dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang
dikelola oleh quasi private dan formal constraints sudah berjalan baik, perlu
melibatkan informal constraints. Pandangan kolaborasi formal constraints dan
informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan
Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada tingkat
ketiga, dan (4) Model konseptual kolaboratif merujuk pada poin 1-3 dibangun dari
definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang kolaboratif perlu
menegakkan formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama pada
masing-masing pengelola sebelum dan saat berkolaborasi. Pandangan kolaborasi
antara formal constraints dan informal constraints merupakan pengembangan
temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan
Williamson (2000), pada tingkat keempat.
Kelima, komparasi model konseptual kelembagaan wisata bahari dengan kondisi riil,
baik parsial maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Model konseptual pada
wisata yang dikelola oleh pemerintah lokal perlu kepatuhan terhadap regulasi
governansi (formal constraints), dan berpihak pada masyarakat lokal (informal
constraints). Intisari dari model konseptual ini merupakan respon solutif terhadap
realitas di Watu Ulo yang menunjukan bahwa pengelola atau Pemerintah Kabupaten
Jember yang tidak patuh terhadap regulasi yang dimilikinya serta tidak berpihak pada
masyarakat lokal (informal constraints), sehingga perkembangannya sampai saat ini
stagnan. (2) Model konseptual pada wisata yang dikelola oleh kelompok-kelompok
masyarakat perlu membangun konsensus dan menegakkan regulasi governansi
(formal constraints), dan melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh atau
informal constraints. Intisari dari model konseptual ini merupakan respon solutif
DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER
DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER
xiii
terhadap realitas di Payangan yang menunjukan bahwa pengelola hanya
mementingkan kepentingan masing-masing, dan tidak melibatkan masyarakat lokal
secara menyeluruh sehingga perkembangannya sampai Payangan menjadi kumuh.
(3) Model konseptual pada wisata yang dikelola oleh quasi private dan formal
constraints berjalan baik, perlu melibatkan informal constraints. Karena realitas yang
ada di Tanjung Papuma pengelola hanya berfokus pada penegakan regulasi dan abai
terhadap keterlibatan masyarakat, sehingga konflik horizontal kerap terjadi, dan (4)
Model konseptual kolaboratif perlu menegakkan formal constraints dan informal
constraints secara bersama-sama pada masing-masing pengelola sebelum dan saat
berkolaborasi. Karena realitas di ketiga tempat wisata seperti dikemukakan pada poin
1-3 belum sepenuhnya benar-benar menegakkan formal constraints dan informal
constraints pada saat melakukan pengelolaan masing-masing, sehingga nantinya saat
berkolaborasi perlu menekankan formal constraints dan informal constraints secara
bersama-sama.
Keenam, konsep perubahan berdasarkan hasil komparasi untuk memperbaiki situasi
masalah parsial maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Untuk di Watu Ulo:
Adanya perbaikan dengan menitikberatkan pada penegakan (enforcement) formal
constraints dan informal constraints secara bersama-sama untuk memberikan rasa
adil, biaya transaksi (transaction cost) yang efektif dan menghindari informasi
asimetris (asymmetric information) yang merugikan stakeholders. (2) Untuk di
Payangan: Perlu perubahan yang diimplementasikan secara sistematis, baik secara
parsial maupun maupun secara kolaboratif adalah penegakan (enforcement) formal
constraints dan informal constraints secara bersama-sama penting dilakukan oleh
kelompok-kelompok pengelola untuk memberikan rasa adil, biaya transaksi
(transaction cost) yang rendah dan menghindari informasi asimetris (asymmetric
information) yang merugikan stakeholders, utamanya pengunjung dan masyarakat
lokal. (3) Untuk di Tanjung Papuma: Perlu menjalankan kelembagaan secara
berkelanjutan untuk juga menegakkan (enforcement) informal constraints secara
bersama-sama dengan formal constraints untuk memberikan rasa adil, biaya
transaksi (transaction cost) yang tidak efektif dan informasi asimetris (asymmetric
information) yang merugikan stakeholders, utamanya masyarakat lokal, dan (4)
Secara kolaboratif merujuk pada poin 1-3: Perlu adanya penegakan (enforcement)
formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama untuk memberikan
rasa adil, biaya transaksi (transaction cost) yang tidak efektif dan informasi asimetris
(asymmetric information) yang merugikan stakeholders.
Adapun implikasi penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, Implikasi Teoretis:
Penelitian ini memberikan implikasi teoretis terhadap teori governansi yang
dikemukakan oleh Rhodes (2017), yang menyatakan bahwa governansi adalah
organisasi jaringan atau network organization antara pemerintah dengan civil society
dan swasta untuk saling bertukar sumber daya dalam mendukung penyelenggaraan
kebijakan publik. Kritik teoretis yang peneliti berikan adalah untuk saling bertukar
sumber daya antara pemerintah dan civil society serta swasta tidak cukup hanya
bersandar pada organisasi. Organisasi hakikatnya wadah berkumpulnya beberapa
orang untuk mencapai tujuan (Supranoto, 2022). Berangkat dari definisi organisasi
sebagai wadah berkumpul untuk mencapai tujuan, organisasi hanya mampu
merespon dengan baik ketetuan-ketentuan formal (formal constraints), dan
mengabaikan ketentuan informal (informal constraints) yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat sebagaimana tercermin di tiga lokasi penelitian. Untuk
merespon terjadinya pertukaran sumber daya, diperlukan aturan main yang holistik
yang dapat mengakomodir formal constraints dan informal constraints secara setara
dalam penegakannya melalui kerangka kelembagaan yang baik. Berdasarkan analisis
pentingnya aturan main yang baik dalam pertukaran sumber daya antara pemerintah
dengan civil society dan swasta dalam pengelolaan wisata bahari, maka dapat ditarik
benang merah bahwa bahwa governansi tidak akan mampu mewujudkannya, karena
governansi hanya bertumpu pada formal constraints semata. Sedangkan formal
constraints adalah bagian integral dari kelembagaan bersama dengan informal
constraints. Justifikasi peneliti tersebut diperkuat dengan hasil analisis Soft System
Methodology (SSM) yang menunjukan bahwa tahap 1 tentang situasi masalah, dan
tahap 2 tentang pejelasan situasi, governansi dan kelembagaan masih terpisah.
Namun pada tahap 3 tentang definisi akar masalah ternyata governansi merupakan
bagian integral dari kelembagaan (baca: kesimpulan).
Kedua, Implikasi Metodologis: Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan
bahwa pendekatan Soft System Methodology (SSM) yang selama ini dipahami secara
berurutan atau step by step hanya dapat dilakukan pada tahap Hasil penelitian dan
pembahasan secara parsial. Karena saat melakukan pembahasan secara kolaboratif,
tahapanya bisa langsung pada penyusunan model konseptual kelembagaa atau tahap
4. Hal tesebut berangkat dari asumsi peneliti bahwa model konseptual harus
dibangun dari kondisi ideal di masing-masing tempat wisata yang tergambar pada
model konseptual parsial atau masing-masing tempat wisata. Temuan ini
menyempurnakan pendapat Checkland & Poulter (2020), tentang SSM yang harus
dilakukan secara berurutan atau step by step seperti anak tangga. Ternyata dalam
penelitian ini ada pengecualian saat dilakukan analisis kolaboratif yang bisa langsung
masuk pada tahap ke-4 atau menyusun model konseptual kolaboratif.
Ketiga, Implikasi terhadap Riset Terdahulu: Penelitian ini memberikan implikasi
terhadap riset terdahulu yang ditulis dalam jurnal nasional maupun internasional
bereputasi, seperti: Sinta, Thomson, WOS maupun Scopus yang berjumlah 367
artikel jurnal. Karena riset terdahulu tersebut menganggap governansi sebagai sebuah
konsep yang berdiri sendiri atau tidak menjadi bagian dari kelembagaan. Sedangkan
penelitian ini membuktikan bahwa governansi adalah bagian integral dari
kelembagaan (baca: implikasi teoretis). Di sisi lain, riset terdahulu juga belum ada
yang menyandingkan governansi dengan kelembagaan secara bersama-sama.
Biasanya, riset terdahulu menyandingkan governansi dengan konsep strategi,
pengembangan, kapabilitas, sumber daya, dukungan kebijakan, kepentingan
stakeholders, dan lain-lain. Sehingga, temuan penelitian atau novelty tentang
governansi merupakan bagian integral dari kelembagaan merupakan temuan yang
benar-benar baru, karena sudah teruji secara teoretis, metodologis serta pada risetriset terdahulu.