Show simple item record

dc.contributor.authorHS, M Hamdi
dc.date.accessioned2024-06-05T06:57:06Z
dc.date.available2024-06-05T06:57:06Z
dc.date.issued2024-01-16
dc.identifier.nim210930101001en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/121016
dc.descriptionvalidasi_repo_firli_januari_2024_19en_US
dc.description.abstractPantai Payangan, Watu Ulo, dan Tanjung Papuma merupakan destinasi wisata bahari yang berada di Kabupaten Jember. Secara geografis ketiganya berdekatan, sehingga potensial menjadi tempat wisata favorit dan bisa dikolaborasikan. Namun fenomena yang muncul di lapangan hal tersebut sulit dilakukan, karena ada kesenjangan pada sisi governansi berupa kontribusi Pendapatan Asli Daerah yang beragam, keterlibatan para pihak yang variatif, dan pertukaran sumber daya berbeda antar masing-masing tempat wisata. Sedangkan kesenjangan sisi kelembagaan, meliputi regulasi atau formal constraints tentang kepariwisataan pada masing-masing tempat wisata berbeda-beda, dan dinamika ketentuan informal (informal constraints) dimasing-masing tempat wisata juga berbeda. Di sisi lain, penelitian terdahulu yang membahas tentang governansi dan kelembagaan secara bersama-sama masih belum peneliti jumpai, sehingga hal ini menarik ditindaklanjuti dalam penelitian lebih lanjut. Bertitik tolak dari fenomena kesenjangan governansi dan kelembagaan serta belum adanya penelitian yang membahas governansi dan kelembagaan secara bersamasama, maka, maka tujuan penelitian adalah: Pertama, mengindentifikasi situasi masalah governansi dan kelembagaan wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan Tanjung Papuma. Kedua, menjelaskan situasi masalah governansi dan kelembagaan wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan Tanjung Papuma. Ketiga, mendefinisikan akar masalah governansi dan kelembagaan wisata bahari di Watu Ulo, Payangan dan Tanjung Papuma. Keempat, mendesain model konseptual kelembagaan wisata bahari secara parsial maupun kolaboratif. Kelima, menganalisis komparasi model konseptual kelembagaan wisata bahari dengan kondisi riil di lapangan secara parsial maupun kolaboratif, dan keenam, mengembangkan konsep perubahan berdasarkan hasil komparasi untuk memperbaiki situasi masalah secara parsial maupun kolaboratif. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan Soft System Methodology (SSM). SSM menurut Checkland & Poulter (2020), adalah kerangka konseptual yang digunakan untuk memecahkan masalah kompleks dengan mengidentifikasi, memodelkan dan mendefinisikan perubahannya melalui 6 (enam) tahapan, meliputi: Situasi masalah, penjelasan situasi masalah, definisi akar masalah atau root definition, model konseptual, perbandingan model konseptual dan dunia nyata, serta mendefinisikan perubahan yang diimplementasikan secara sistematis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan: Pertama, situasi masalah governansi dan kelembagaan di tiga tempat wisata tersebut adalah sebagai berikut: (1) Hasil analisis menunjukkan bahwa masalah governansi dan kelembagaan di Watu Ulo terdiri dari 21 masalah. Hal ini disebabkan oleh kelalaian dalam penerapan regulasi governansi (formal constraints) dan minimnya respons terhadap keterlibatan masyarakat lokal (informal constraints). (2) Ditemukan 24 masalah dalam governansi dan kelembagaan di Payangan. Hal ini disebabkan oleh kelompok-kelompok pengelola tidak menegakkan regulasi governansi (formal constraints), dan adanya hambatan partisipasi pada sebagian masyarakat lokal (informal constraints), dan (3) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di Tanjung Papuma berdasarkan hasil analisis terdapat 18 masalah yang disebabkan karena pengelola hanya fokus pada penegakan regulasi governansi (formal constraints), Namun disisi yang lain mengabaikan keterlibatan masyarakat lokal (informal constraints) secara partisipatif. Kedua, penjelasan situasi masalah governansi dan kelembagaan di tiga tempat wisata tersebut adalah sebagai berikut: (1) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di Watu Ulo menunjukkan bahwa pengelola lalai dalam menegakkan regulasi governansi (formal constraints) secara konsisten sesuai dengan tujuan pengembangan wisata bahari. Tujuan tersebut mencakup peningkatan devisa negara, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dukungan terhadap pengembangan akses infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pengelola juga kurang memperhatikan aspek informal constraints yang dimiliki oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari governansi. Padahal, kolaborasi formal constraints dan informal constraints tidak hanya memperkuat governansi, namun lebih dari itu, kolaborasi formal constraints dan informal constraints memperkuat kelembagaan yang ada di Watu Ulo. (2) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di Payangan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok pengelola tidak menegakkan regulasi governansi (formal constraints), karena masing-masing kelompok hanya mengejar keuntungan ekonomi. Disisi lain, keterlibatan masyarakat lokal secara partisipatif terhalang oleh hegemoni kelompok-kelompok pengelola, sehingga masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat secara maksimal. Tidak ditegakkannya formal constraints dan informal constraints menjadi penyebab buruknya kelembagaan yang menghambat terjadinya governansi yang baik, dan (3) Situasi masalah governansi dan kelembagaan di Tanjung Papuma menunjukkan bahwa pengelola sudah melaksanakan regulasi governansi (formal constraints) secara konsisten, sehingga sebagian tujuan pengembangan wisata bahari tercapai, seperti kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih besar dibandingkan Watu Ulo. Namun pada sisi lain, pelibatan masyarakat lokal yang memiliki informal constraints baik, cenderung diabaikan oleh pengelola karena governansinya cenderung tertutup, sehingga penguatan informal constraints penting kedepan dalam memperkuat kelembagaan Tanjung Papuma. Ketiga, definisi akar masalah menunjukkan bahwa governansi merupakan bagian integral dari kelembagaan, sebagai dimensi formal constraints yang dapat disandingkan dan ditegakkan dengan dimensi lain dari kelembagaan, yaitu informal constraints. Oleh karena itu, definisi akar masalah secara parsial maupun kolaboratif pada tahap ketiga ini adalah kelembagaan, dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Definisi akar masalah untuk Watu Ulo: Pada wisata bahari yang dikelola oleh pemerintah lokal (P) perlu kepatuhan terhadap regulasi governansi atau formal constraints, dan memperhatikan atau berpihak pada masyarakat lokal atau informal constraints (Q) untuk mencapai governansi yang berkelanjutan (R). (2) Definisi akar masalah untuk Payangan: Pada wisata bahari yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki tujuan masing-masing (P) perlu ada konsensus dalam menegakkan regulasi governansi atau formal constraints secara patuh, dan melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh atau informal constraints (Q) untuk mencapai governansi yang berkelanjutan (R). (3) Definisi akar masalah untuk Tanjung Papuma: Pada wisata bahari yang dikelola oleh quasi private (P) governansi atau formal constraints yang sudah dijalankan dengan baik, perlu melibatkan masyarakat lokal atau informal constraints (Q) untuk mencapai governansi yang berkelanjutan (R), dan (4) Definisi akar masalah kolaboratif merujuk pada poin 1-3: Pada wisata bahari yang kolaboratif (P) penegakan formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama penting dilakukan oleh masing-masing pengelola (Q) sebelum dan saat berkolaborasi untuk mencapai governansi yang berkelanjutan (R). Keempat, model konseptual berdasarkan definisi akar masalah, baik secara parsial maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Model konseptual untuk Watu Ulo dibangun dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang dikelola oleh pemerintah lokal perlu kepatuhan terhadap regulasi governansi (formal constraints), dan berpihak pada masyarakat lokal (informal constraints). Pandangan tentang dimensi formal constraints dan informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada kelembagaan tingkat kedua. (2) Model konseptual untuk Payangan dikonstruksi dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki tujuan masing-masing perlu ada konsensus dalam menegakkan regulasi governansi atau formal constraints, dan melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh atau informal constraints. Pandangan kolaborasi formal constraints dan informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada kelembagaan tingkat pertama. (3) Model konseptual untuk Tanjung Papuma dikerangkai dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang dikelola oleh quasi private dan formal constraints sudah berjalan baik, perlu melibatkan informal constraints. Pandangan kolaborasi formal constraints dan informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada tingkat ketiga, dan (4) Model konseptual kolaboratif merujuk pada poin 1-3 dibangun dari definisi akar masalah yang menyatakan bahwa wisata bahari yang kolaboratif perlu menegakkan formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama pada masing-masing pengelola sebelum dan saat berkolaborasi. Pandangan kolaborasi antara formal constraints dan informal constraints merupakan pengembangan temuan lapangan, teori kelembagaan Notrh (1990), dan teori tingkatan kelembagaan Williamson (2000), pada tingkat keempat. Kelima, komparasi model konseptual kelembagaan wisata bahari dengan kondisi riil, baik parsial maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Model konseptual pada wisata yang dikelola oleh pemerintah lokal perlu kepatuhan terhadap regulasi governansi (formal constraints), dan berpihak pada masyarakat lokal (informal constraints). Intisari dari model konseptual ini merupakan respon solutif terhadap realitas di Watu Ulo yang menunjukan bahwa pengelola atau Pemerintah Kabupaten Jember yang tidak patuh terhadap regulasi yang dimilikinya serta tidak berpihak pada masyarakat lokal (informal constraints), sehingga perkembangannya sampai saat ini stagnan. (2) Model konseptual pada wisata yang dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat perlu membangun konsensus dan menegakkan regulasi governansi (formal constraints), dan melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh atau informal constraints. Intisari dari model konseptual ini merupakan respon solutif DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER xiii terhadap realitas di Payangan yang menunjukan bahwa pengelola hanya mementingkan kepentingan masing-masing, dan tidak melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh sehingga perkembangannya sampai Payangan menjadi kumuh. (3) Model konseptual pada wisata yang dikelola oleh quasi private dan formal constraints berjalan baik, perlu melibatkan informal constraints. Karena realitas yang ada di Tanjung Papuma pengelola hanya berfokus pada penegakan regulasi dan abai terhadap keterlibatan masyarakat, sehingga konflik horizontal kerap terjadi, dan (4) Model konseptual kolaboratif perlu menegakkan formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama pada masing-masing pengelola sebelum dan saat berkolaborasi. Karena realitas di ketiga tempat wisata seperti dikemukakan pada poin 1-3 belum sepenuhnya benar-benar menegakkan formal constraints dan informal constraints pada saat melakukan pengelolaan masing-masing, sehingga nantinya saat berkolaborasi perlu menekankan formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama. Keenam, konsep perubahan berdasarkan hasil komparasi untuk memperbaiki situasi masalah parsial maupun kolaboratif adalah sebagai berikut: (1) Untuk di Watu Ulo: Adanya perbaikan dengan menitikberatkan pada penegakan (enforcement) formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama untuk memberikan rasa adil, biaya transaksi (transaction cost) yang efektif dan menghindari informasi asimetris (asymmetric information) yang merugikan stakeholders. (2) Untuk di Payangan: Perlu perubahan yang diimplementasikan secara sistematis, baik secara parsial maupun maupun secara kolaboratif adalah penegakan (enforcement) formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama penting dilakukan oleh kelompok-kelompok pengelola untuk memberikan rasa adil, biaya transaksi (transaction cost) yang rendah dan menghindari informasi asimetris (asymmetric information) yang merugikan stakeholders, utamanya pengunjung dan masyarakat lokal. (3) Untuk di Tanjung Papuma: Perlu menjalankan kelembagaan secara berkelanjutan untuk juga menegakkan (enforcement) informal constraints secara bersama-sama dengan formal constraints untuk memberikan rasa adil, biaya transaksi (transaction cost) yang tidak efektif dan informasi asimetris (asymmetric information) yang merugikan stakeholders, utamanya masyarakat lokal, dan (4) Secara kolaboratif merujuk pada poin 1-3: Perlu adanya penegakan (enforcement) formal constraints dan informal constraints secara bersama-sama untuk memberikan rasa adil, biaya transaksi (transaction cost) yang tidak efektif dan informasi asimetris (asymmetric information) yang merugikan stakeholders. Adapun implikasi penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, Implikasi Teoretis: Penelitian ini memberikan implikasi teoretis terhadap teori governansi yang dikemukakan oleh Rhodes (2017), yang menyatakan bahwa governansi adalah organisasi jaringan atau network organization antara pemerintah dengan civil society dan swasta untuk saling bertukar sumber daya dalam mendukung penyelenggaraan kebijakan publik. Kritik teoretis yang peneliti berikan adalah untuk saling bertukar sumber daya antara pemerintah dan civil society serta swasta tidak cukup hanya bersandar pada organisasi. Organisasi hakikatnya wadah berkumpulnya beberapa orang untuk mencapai tujuan (Supranoto, 2022). Berangkat dari definisi organisasi sebagai wadah berkumpul untuk mencapai tujuan, organisasi hanya mampu merespon dengan baik ketetuan-ketentuan formal (formal constraints), dan mengabaikan ketentuan informal (informal constraints) yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagaimana tercermin di tiga lokasi penelitian. Untuk merespon terjadinya pertukaran sumber daya, diperlukan aturan main yang holistik yang dapat mengakomodir formal constraints dan informal constraints secara setara dalam penegakannya melalui kerangka kelembagaan yang baik. Berdasarkan analisis pentingnya aturan main yang baik dalam pertukaran sumber daya antara pemerintah dengan civil society dan swasta dalam pengelolaan wisata bahari, maka dapat ditarik benang merah bahwa bahwa governansi tidak akan mampu mewujudkannya, karena governansi hanya bertumpu pada formal constraints semata. Sedangkan formal constraints adalah bagian integral dari kelembagaan bersama dengan informal constraints. Justifikasi peneliti tersebut diperkuat dengan hasil analisis Soft System Methodology (SSM) yang menunjukan bahwa tahap 1 tentang situasi masalah, dan tahap 2 tentang pejelasan situasi, governansi dan kelembagaan masih terpisah. Namun pada tahap 3 tentang definisi akar masalah ternyata governansi merupakan bagian integral dari kelembagaan (baca: kesimpulan). Kedua, Implikasi Metodologis: Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pendekatan Soft System Methodology (SSM) yang selama ini dipahami secara berurutan atau step by step hanya dapat dilakukan pada tahap Hasil penelitian dan pembahasan secara parsial. Karena saat melakukan pembahasan secara kolaboratif, tahapanya bisa langsung pada penyusunan model konseptual kelembagaa atau tahap 4. Hal tesebut berangkat dari asumsi peneliti bahwa model konseptual harus dibangun dari kondisi ideal di masing-masing tempat wisata yang tergambar pada model konseptual parsial atau masing-masing tempat wisata. Temuan ini menyempurnakan pendapat Checkland & Poulter (2020), tentang SSM yang harus dilakukan secara berurutan atau step by step seperti anak tangga. Ternyata dalam penelitian ini ada pengecualian saat dilakukan analisis kolaboratif yang bisa langsung masuk pada tahap ke-4 atau menyusun model konseptual kolaboratif. Ketiga, Implikasi terhadap Riset Terdahulu: Penelitian ini memberikan implikasi terhadap riset terdahulu yang ditulis dalam jurnal nasional maupun internasional bereputasi, seperti: Sinta, Thomson, WOS maupun Scopus yang berjumlah 367 artikel jurnal. Karena riset terdahulu tersebut menganggap governansi sebagai sebuah konsep yang berdiri sendiri atau tidak menjadi bagian dari kelembagaan. Sedangkan penelitian ini membuktikan bahwa governansi adalah bagian integral dari kelembagaan (baca: implikasi teoretis). Di sisi lain, riset terdahulu juga belum ada yang menyandingkan governansi dengan kelembagaan secara bersama-sama. Biasanya, riset terdahulu menyandingkan governansi dengan konsep strategi, pengembangan, kapabilitas, sumber daya, dukungan kebijakan, kepentingan stakeholders, dan lain-lain. Sehingga, temuan penelitian atau novelty tentang governansi merupakan bagian integral dari kelembagaan merupakan temuan yang benar-benar baru, karena sudah teruji secara teoretis, metodologis serta pada risetriset terdahulu.en_US
dc.description.sponsorshipProf. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd Drs. Supranoto, M.Si., Ph.D Co Dr. Dina Suryawati, S.Sos., M.APen_US
dc.publisherFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politiken_US
dc.subjectWisata Baharien_US
dc.subjectGovernansien_US
dc.subjectAdministrasi Publiken_US
dc.titleModel Governansi dan Kelembagaan Wisata Bahari di Kabupaten Jemberen_US
dc.typeDisertasien_US
dc.identifier.prodiDoktor Ilmu Administrasien_US
dc.identifier.pembimbing1Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pden_US
dc.identifier.pembimbing2Drs. Supranoto, M.Si., Ph.Den_US
dc.identifier.validatorvalidasi_repo_firli_januari_2024_19en_US
dc.identifier.finalization0a67b73d_2024_06_tanggal 05en_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record