Upaya Waria Melawan Diskriminasi Melalui Komunitas (Studi Kasus Pada Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta)
Abstract
Ringkasan skripsi ini membahas eksistensi dan tantangan yang dihadapi
oleh komunitas waria, terutama di Yogyakarta. Eksistensi mereka sering dianggap
sebagai "gender ketiga" di luar konsep tradisional perempuan dan laki-laki.
Tantangan sosial yang dihadapi waria meliputi diskriminasi, stigma negatif,
kesulitan dalam praktik ibadah, dan akses terbatas terhadap pekerjaan yang layak.
Jadi tujuan ditulisnya skiprisi ini adalah untuk Menganalisis dan Mendeskripsikan
bentuk-bentuk diskriminasi pada waria serta mengetahui upaya waria melalui
Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta melawan diskriminasi. Untuk
menganalisis permasalahan dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori labeling
dari Howard Becker, dimana dalam teori ini dijelaskan bahwa individu atau
kelompok yang menyimpang dari norma yang berlaku di masyarakat, akan
mendapatkan pelabelan buruk.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi
kasus untuk menganalisis kehidupan dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas
waria di Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok
Pesantren Waria Al Fatah yang berlokasi di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten
Bantul, Daerah Isitimewa Yogyakarta. Untuk mengumpulkan data, peneliti
menggunakan metode observasi, wawancara dan catatan lapangan. Pada penelitian
ini terdapat lima informan, diantaranya informan waria pertama yaitu NA (nama
samaran), informan waria yang kedua yaitu Rully Mallay, informan waria yang
ketiga yaitu Yunsihara. Untuk dua informan tambahan peneliti mengambil Ustazah
Rosidah dan Sri Wahyuni sebagai masyarakat sekitar pondok pesantren.
Skripsi ini membahas sejarah awal berdirinya pondok pesantren, konflik
internal, dan tantangan eksternal yang dihadapi oleh komunitas ini. Selain itu,
skripsi ini juga menyoroti upaya pondok pesantren dalam melawan diskriminasi,
seperti melalui kegiatan keagamaan, pelatihan keterampilan kerja, kerja sama
dengan Lembaga dan advokasi ke pemerintah. Komunitas waria ini berdiri paska
bencana gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu. Dari
awal berdiri hingga sekarang, Pondok Pesantren Waria Al Fatah sudah tiga kali
mengalami pergantian kepemimpinan, pemimpin yang pertama yaitu Alm.
Maryani, selanjutnya digantikan Alm. Ibu Shinta Ratri dan pada awal tahun 2023,
Shinta Ratri meninggal dunia dan posisinya di pesantren digantikan oleh Yunsihara
hingga sekarang. Dari awal berdiri hingga sekarang, Pondok Pesantren Waria Al
Fatah tak lekang dengan masalah-masalah yang melanda komunitas mereka.
Diantaranya adalah masalah dengan K.H. Hamrolie yang saat itu sebagai ustadz
atau pengajar di pondok pesantren. Konflik bermula ketika postingan artikel yang
memuat tentang pondok pesantren waria yang akan mengembalikan waria menjadi
laki-laki sejati. Hal tersebut pastinya menimbulkan kontra dikalangan santri waria.
Selanjutnya konflik dengan ormas keagamaan yang dilandasi oleh isu fikih waria.
Akibat dari konflik ini, Pondok Pesantren Waria Al Fatah sempat ditutup sementara
selama empat bulan.
Pelabelan yang terjadi pada waria menyebabkan mereka mendapatkan
stigma yang buruk dimata masayarakat. Tak hanya sampai situ saja, banyak dari
mereka yang mengalami atau dengan sengaja memisahkan diri dari keluarga karena
stigma atau pengusiran yang terjadi pada waria. Selain itu, paksaan untuk menikah
secara heteroseksual juga menjadi alasan waria meninggalkan rumah. Karena
berpisah dengan keluarga, membuat waria tinggal sendiri dan pada akhirnya banyak
dari mereka memutuskan bekerja sebagai pekerja seks atau pengamen. Selain itu,
Pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor banyak waria yang
memutuskan bekerja di sektor informal.
Waria melalui Pondok Pesantren Waria Al Fatah berusaha menghapus
palabelan yang selama ini melekat pada diri mereka. Dalam aspek ekonomi, waria
berupaya pelatihan kerja, fundraising, membangun relasi dengan lemabaga sosial
dan hukum dan advokasi ke pemerintahan. Dalam aspek sosial biasanya pada harihari besar tertentu, para waria di komunitas ini melakukan kunjungan ke masyarakat
untuk mempererat hubungan dengan masayarakat umum. serta melibatkan
masyarakat dalam setiap kegiatan komunitas mereka. Dalam aspek agama, para
waria rutin mengadakan kegiatan keagamaan seperti pengajian, do'a bersama, salat
berjama'ah dan upaya membangun relasi dengan tokoh agama. Hal tersebut dapat
membangun citra diri yang positif pada waria di masayarakat.