Penjatuhan Restitusi yang Dibebankan Negara dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak
Abstract
Pelecehan seksual ditahun sekarang semakin marak dan semakin bertambah
meningkat di setiap tahunnya. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak
menerima 2.898 TOTAL kekerasan terhadap anak. Dari 2.898 total persoalan, 60%
adalah kejahatan seksual. 40% sisanya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran,
pelecehan, pemerkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk tujuan
eksploitasi seksual atau ekonomi, kontroversi, serta masalah narkoba. Berkenaan
dengan perlindungan anak, ada Pasal-Pasal yang cukup menjamin upaya-upaya
untuk mewujudkan hak-hak anak. Salah satunya adalah dalam Undang-Undang No
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut sebagai UU
Perlindungan Anak), yang mana hak-hak anak diatur didalamnya. Mulai dari
mengatur tentang Hak Asasi Anak, Kewajiban orang tua dan keluarga, bahkan
sampai dengan perlindungan anak yang menjadi korban atas tindak pidana
kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang.
Dari hal tersebut, Kekerasan Seksual dan anak ini diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHP) Pasal 289
sampai dengan Pasal 296 kemudian diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang
No 12 Tahun 2020 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut
dengan UU Tipin Kekerasan Seksual) dan juga dalam perihal anak diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak. Seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu
ditempat pendidikan daerah Bandung, di mana terdapat seorang tenaga pendidik
yang berinisial HW, telah terbukti melakukan tindak pidana kekerasan dan
pelecehan seksual kepada para santrinya setotal 13 korban yang berusia di bawah
umur diantaranya 8 santri telah melahirkan anak yang salah satunya melahirkan dua
kali total 9 bayi dari anak korban. HW juga melakukan perbuatan pidana
diantaranya memperkerjakan anak dibawah umur, kurikulum dari yayasannya yang
tidak mengikuti peraturan yang ada, serta melakukan beberapa kali tipu muslihat
untuk mengajak anak korban melakukan hubungan seksual dengannya. Dari
kejadian tersebut Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman berupa
penjara seumur hidup dan membebankan restitusi kepada Lembaga Negara.
Dengan pertimbangan pada Pasal 67 KUHP yang memuat didalamnya yaitu “orang
yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup itu tidak boleh dijatuhi pidana
lain kecuali pencabutan hak-hak yang tertentu, perampasan barang-barang yang
telah disita sebelumnya dan pengumuman putusan hakim”. Setelahnya Jaksa
Penuntut Umum kepada Pengadilan Tinggi Bandung melakukan memori banding
yang dibacakan oleh pada hari Senin, 4 April 2022, menyatakan menghukum
terdakwa HW dengan pidana mati dan membebankan restitusi kepada terdakwa
HW. Dari penjabaran tersebut terdapat isu yang menarik untuk dibahas tentang
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, yaitu hakim yang memberikan
hukuman kepada HW berupa hukuman mati serta membebankan restitusi kepada
HW tanpa melibatkan Pasal 67 KUHP. Setelahnya dari Jaksa Penuntut Umum
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang pada saat ini masih dalam
proses pengajuan permohonan kasasi di Mahkamah Agung.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis-normatife karena penyelesaian permasalahan dalam skripsi ini
menggunakan kaidah-kaidah hukum positif dengan menggunakan pendekatan konseptual, kasus dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang
digunakan merupakan bahan huku primer, bahan hukum sekunder serta bahan nonhukum serta dengan menganalisa bahan hukum hukum yang ada sebagai langkah
terakhir.
Hasil dari penelitian skripsi ini membuktikan bahwa pasal 67 KUHP
digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk memberikan hukuman maksimal
terhadap terdakwa dengan Pidana Seumur Hidup dengan pertimbangan Pasal 81
UU Perlindungan Anak . Kemudian pada Hakim Pengadilan Negeri juga membahas
penjatuhan pembebanan kepada Lembaga Negara yaitu Komisi Perlindungan
Perempuan dan Anak RI (KPPA RI).
Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah para Bahwa Hakim Pengadilan
Negeri Bandung mempertimbangkan Pasal 81 ayat (5), (6), dan ayat (7) dan Pasal
67 KUHP karena hukuman pidana tertinggi yang berada di Pasal 81 adalah
hukuman mati, dalam Pasal tersebut juga menambahkan adanya hukuman
tambahan berupa kebiri kimia dan pengumuman identitas pelaku. Hal ini
menyimpangi pasal 67 KUHP yang menyatakan pidana mati atau seumur hidup
tidak boleh dibarengi dengan pidana lainnya. Majelis Hakim menyimpangi
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksana Restitusi bagi anak yang menjadi
Korban Tindak Pidana, dan PERMA No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara
Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada
Korban Tindak Pidana yang mana pembebanan tersebut harus diberikan kepada
terdakwa atau pihak ketiga sebagai termohon restitusi, bukan kepada lembaga
negara yang memiliki kewenangan dan bisa mempermudah pidana pelaku
kejahatan karena diringankan pembebanan restitusinya.
Saran yang diberikan agar bisa lebih teliti dan cermat dalam menjatuhi
beban kepada pelaku kejahatan dalam pertimbangannya, serta memperhatikan asas
yang digunakan didalam membentuk penafsiran hukum untuk penjatuhan pidana
serta pelaksanaan hukuman tambahan kedepanny daan penegak hukum lainnya bisa
mematuhi dan menjalankan undang-undang yang berkaitan dengan hak para korban
tindak pidana. Serta menjatuhkan pembebanan hukuman restitusi kepada pelaku
tindak pidana, agar hal tersebut tidak menjadi penyimpangan norma yang dibangun
dalam undang-undang yang telah ditetapkan.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]