Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Waralaba
Abstract
Waralaba merupakan suatu bentuk perkembangan terhadap suatu pemberian hak
dan kewajiban usaha yang mengandalkan kemampuan mitra usahanya dalam
mengembangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba melalui tata cara dan
sistem yang ditentukan oleh pengusaha. Tetapi dalam perjanjian waralaba yang
merupakan perjanjian baku terdapat beberapa problem diantaranya ialah Problem
Yuridis, yaitu adanya kekaburan makna frase itikad baik yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal
5 huruf d PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, dalam pemenuhan hak dan
kewajiban dalam waralaba, sehingga dalam pemenuhan tersebut yang
mendominasi pemberi waralaba dalam pembuatan perjanjian waralaba dapat
terjadi adanya perjanjian baku yang dapat bertentangan dengan prinsip itikad baik.
Problem Teoritis, yaitu dikarenakan kaburnya frase itikad baik yang tidak sesuai
dengan pemenuhan hak dan kewajiban pada ketentuan Pasal 5 huruf d PP No. 42
Tahun 2007 tentang Waralaba, dianggap tidak sesuai dengan prinsip tujuan
hukum yang mengedepankan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Problem
Sosiologis, yaitu ketidakpastian merupakan musabab ketidakadilan, sehingga
pemenuhan norma dalam kesenjangan sosial antara pemberi waralaba dan
penerima waralaba tidak memenuhi unsur itikad baik para pihak. Rumusan
masalah masalah dalam penelitian ini ialah makna frase itikad baik dalam
perjanjian waralaba, pengaturan tentang itikad baik dalam perjanjian waralaba
telah mencerminkan prinsip keadilan, dan konsep pengaturan ke depan agar
perjanjian waralaba sesuai dengan prinsip keadilan. Penelitian tesis ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif yang didukung dengan 3 (tiga)
pendekatan diantaranya ialah, pendekatan perundang-undangan; pendekatan
konseptual dan pendekatan perbandingan guna dapat menjawab permasalahan
yang ada dan permasalahan yang akan di hadapi terkait karakteristik dari keadilan
dalam perjanjian waralaba. Hasil dari penelitian tesis ini adalah pertama,
tercerminnya makna frase itikad baik dalam perjanjian waralaba dalam ketentuan
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Kedua, pengaturan tentang itikad baik dalam
perjanjian waralaba belum mencerminkan prinsip keadilan, karena perjanjian
waralaba merupakan perjanjian baku yang hanya menguntungkan salah satu
pihak, dengan segala isi perjanjian yang akan diberikan kepada penerima waralaba
telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemberi waralaba, sehingga penerima
waralaba kemudian menerima perjanjian tersebut, adalah bukan karena memang
setuju dengan perjanjian tersebut tetapi karena terdorong oleh adanya suatu
kebutuhan. Ketiga, konsep pengaturan ke depan agar perjanjian waralaba sesuai
dengan prinsip keadilan yaitu dengan membentuk suatu perjanjian waralaba
dengan berasaskan itikad baik yang disusun dengan cermat agar kerjasama bisnis
yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak seimbang
Collections
- MT-Science of Law [333]