Asean dan Mekanisme Penanganan Masalah Rohingya
Abstract
Asean yang merupakan organisasi internasional yang beranggotakan negaranegara di kawasan Asia tenggara dan dibentuk melalui Bangkok Declaration pada
tanggal 8 Agustus 1967. Tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk meningkatkan
kerjasama di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya diantara negara-negara
anggotanya. Terutama menciptakan kawasan Asia Tenggara dalam suasana
persahabatan, kemakmuran, kedamaian. Dan yang lebih penting lagi Asean
menegaskan bahwa dirinya sebagai organisasi yang menghormati serta bertekad untuk
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi. Hal ini sesuai dengan
isi Dekalarasi Bangkok yang telah ditandatangani oleh lima negara pendiri Asean dan
juga tercantum dalam Asean Charter pasal 1 ayat (4) yang isinya adalah menjamin
bahwa rakyat dan Negara-negara anggota Asean hidup damai dengan dunia secara
keseluruhan di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis.
ASEAN Way merupakan cara ASEAN dalam menanggapi dan menyikapi isu
di kawasan. ASEAN way menekankan prinsip non-intervensi yang menghormati
kedaulatan negara lain serta menggunakan pendekatan konsultasi dan konsensus dalam
interaksi penyelesaian isu di kawasan daripada penggunaan cara-cara konfrontasi/
kekerasan. Cara ini memag bisa dikatakan sebagai cara yang “baik” untuk
menyelesaikan masalah namun tidak cukup tegas dan cepat dalam menangani suatu
permasalahan seperti krisis kemanusiaan terhadap Etnis Rohingya. Rohingya adalah
salah satu etnis di Myanmar yang mendiami kota di utara negara bagian Rakhine yang
juga dikenal dengan nama Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Meskipun mereka telah
tinggal di Myanmar selama berabad-abad, Pemerintah Myanmar menyebut mereka
sebagai “Bengali” atau imigran ilegal dari Bangladesh.
Munculnya sebuah peraturan baru yang sangat diskriminatif terhadap
kelompok minoritas, terutama Rohingya, yaitu Burma Citizenship Law tahun 1982
yang secara resmi menghapus Rohingya dari daftar delapan etnis utama dan dari 135
etnis kecil lainnya di Myanmar, menjadi cikal bakal terjadinya rentetan sebuah
peristiwa pelanggaran HAM dan tindakan diskriminasi lainnya yang dialami oleh
Muslim Rohingya hingga sekarang. Sekaligus menyebabkan munculnya gelombang
pengungsi dari Myanmar menuju negara tetangga untuk mencari perlindungan.
Berdasarkan berita dari BBC News Indonesia pada tanggal 7 september 2020,
tidak sedikit pengungsi Rohingya berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan
dan beberapa telah meninggal dunia. Dari pantauan UNHCR di lapangan, dari 297
pengungsi yang mendarat di Aceh, sekitar 183 adalah anak-anak. Angka ini tentu bisa
lebih banyak dari itu, Peristiwa ini mengharuskan ASEAN untuk bersikap dan
melakukan sesuatu karena hal ini bertentangan dengan tujuan awal ASEAN didirikan
dan juga untuk melaksanakan tujuan yang telah tercantum di piagam ASEAN dimana
seluruh masyarakat ASEAN berhak untuk mendapatkan kehidupan yang harmonis.
ASEAN wajib untuk melakukan sesuatu juga dikarenakan etnis Rohingya ini juga
merupakan masyarakat ASEAN itu sendiri. Namun dengan berjalannya waktu dari
tahun 2012 hingga sekarang konflik ini berlangsung, ASEAN seperti tidak melakukan
banyak hal untuk menyelesaikan permasalahan ini. Prinsip Asean Way yaitu prinsip
non-interfensi, non-kekerasan dan penolakan campur tangan dari negara lain dalam
proses penyelesaian konflik di Asia Tenggara seringkali menjadi penyebab berlarutlarut nya konflik yang terjadi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah yuridis
normatif serta pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan undang-undang,
pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Sehingga dalam penelitian ini
menemukan suatu permasalahan yang akan dibahas diantaranya: Pertama, apa latar
belakang terjadinya konflik Rohingya?, dan Kedua, Bagaimana prosedur hukum
regional dalam penyelesaian konflik Rohingya?. Bahan hukum yang digunakan terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan non hukum yang berkaitan
dengan kasus yang diteliti.
Hasil penelitian yang diperoleh penulis dapat menjelaskan bahwa adanya
perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar terhadap kelompok minoritas
Rohingya muncul ketika dikeluarkannya Burma Citizenship Law 1982 yang secara
resmi tidak mengakui etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Kondisi Ini
menjadi cikal bakal berbagai tindakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah
Myanmar selama bertahun-tahun bahkan hingga sekarang. Berbagai cara telah
dilakukan oleh ASEAN untuk mengatasi konflik Rohingya. Namun, situasi di Rakhine
tetap tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan adanya
beberapa kelemahan yang ada dalam diri ASEAN yang menghambat organisasi ini
dalam upaya penyelesaian konflik Rohingya. Asean Way sebagai salah satu nilai yang
dianut oleh negara-negara ASEAN yang mengharuskan adanya sebuah konsultasi dan
konsensus dalam pengambilan keputusan. Selain itu, prinsip non-intervensi dibawah
Asean Way yang dijunjung tinggi oleh negara-negara ASEAN sering menjadi penyebab
berlarut-larutnya konflik yang terjadi khususnya konflik Rohingya.
Collections
- UT-Faculty of Law [6214]