dc.description.abstract | Hukum di Indonesia memperhatikan peraturan tentang tindak pidana yang
berkaitan dengan anak, hal ini karena anak adalah sebagai salah satu generasi
bangsa haruslah dilindungi oleh undang-undang. Adapun undang-undang yang
berkaitan khusus tentang anak dapat dilihat dengan munculnya Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UndangUndang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tindak Pidana terhadap anak
yang sering terjadi adalah tindak pidana kesusilaan yang meliputi persetubuhan
dan pencabulan. Salah satu tindak pidana kesusilaan terhadap anak terdapat dalam
putusan Pengadilan Nomor 8/Pid.Sus.Anak/2015/ PN.Tjb, dari putusan tersebut
maka penulis tertarik untuk menganalisa apakah Pasal 82 Ayat (1) UUPA Jo UU
SPPA yang dijatuhkan oleh hakim dalam Putusan Nomor : 8/Pid.Sus.Anak/2015/
PN.Tjb telah sesuai dengan perbuatan terdakwa yang terungkap di persidangan.
Selain itu penulis juga tertarik untuk menganalisa apakah akibat hukum apabila
amar putusan yang tidak konsisten dalam Putusan Nomor : 8/Pid.Sus.Anak/2015/
PN.Tjb.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis ini adalah untuk mengetahui
maksud dari penelitian yang dilakukan peneliti.Tujuan penulisan skripsi ini yaitu
untuk menganalisis putusan hakim dalam perkara Nomor 8/Pid.Sus.Anak/2015/
PN.Tjb telah sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) atau Pasal 81 ayat (2) UndangUndang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan untuk menganalisis akibat amar
putusan yang tidak konsisten dalam Putusan Nomor 8/Pid/Sus.Anak/2015/
Pn.Tjb.Untuk tipe penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah tipe
penelitian hukum (legal research). Pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan secara konseptual. Metode
dalam pengumpulan bahan hukum penulis menggunakan dua sumber bahan
hukum, yang pertama yaitu sumber bahan hukum primer yang sumber bahan
hukum ini berasal dari peraturan perundang-undangan, dan yang kedua yaitu
sumber bahan hukum sekunder yang sumber bahan hukum ini berasal dari bukubuku hukum, jurnal hukum, teori ahli. Kemudian melakukan analisa bahan
hukum.
Hasil penelitian dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Tjb yang
menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan cabul terhadap korban WK
dan dijatuhi dengan Pasal 82 Ayat 1 UUPA kurang tepat, karena dalam
pembuktian di persidangan yang terdiri dari keterangan saksi, alat bukti berupa
surat visum, dan keterangan yang diberikan terdakwa semuanya cocok saling
berkaitan, dan dari alat bukti yang ada di persidangan tersebut penulis dalam hal
ini menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa terhadap korban ini
bukan perbuatan cabul melainkan persetubuhan, dimana arti persetubuhan adalah
perpaduan antara alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan dengan
penetrasi yang seringan-ringannya, dengan atau tanpa mengeluarkan air mani.
Sehingga perbuatan terdakwa lebih tepatnya dipidana dalam dakwaan pertama,
yaitu Pasal 81 Ayat (2) UUPA. Kesimpulan dari masalah yang kedua Bahwa amar
putusan dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Tjb hakim memutus
yang menyatakan terdakwa anak DDS tersebut, terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul
terhadap anak” sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum, Jika di lihat
dari surat dakwaannya, dakwaan primer menyatakan perbuatan persetubuhan
bukan perbuatan cabul masih dapat dibenarkan karena dalam kalimat selanjutnya
ada suatu pembatasan dari hakim itu sendiri, hakim menyatakan sebagaimana
dakwaan primer, sehingga jika kita mengkaji secara mendalam maksud dari amar
putusan menyatakan perbuatan cabul ini adalah persetubuhan, akan tetapi
seyogyanya jika untuk putusan-putusan kedepannya yang akan dibuat oleh hakim
lebih ditegaskan lagi mengenai amar putusan yang dibuat oleh hakim tersebut.
Saran dalam penulisan skripsi ini adalah Hakim seyogianya lebih teliti dalam
menentukan kualifikasi perbuatan antara perbuatan cabul dan persetubuhan karena
konsekuensi yuridisnya berbeda. Hakim juga harus lebih teliti dalam pembuatan
amar putusan agar terciptanya kepastian hukum yang jelas dan rasa keadilan,
supaya tidak terjadi pemahaman yang rumit tentang amar putusan yang tidak
konsisten karena Hakim memiliki wewenang dan tugas hakim yang sangat besar
itu menuntut tanggung jawab yang tinggi. | en_US |