DILEMA ANTARA LEGITIMASI DENGAN EFISIENSI PEMBIAYAAN DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG THE DILEMMA BETWEEN LEGITIMATION WITH THE EFFICIENCY COST IN THE PUBLIC ELECTION OF THE DISTRICT HEAD AND VISE OF THE DISTRICT HEAD DIRECTLY
Abstract
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah
bergulir sejak 2005 setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, menarik untuk dikaji oleh para pemerhati
maupun para akademisi khususnya di Program Magister Ilmu Hukum Pasca
Sarjana Universitas Jember. Sebab pemilihan kepala daerah yang semula dipilih
melalui system perwakilan oleh anggota DPRD yang digelar dalam parat
paripurna sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dianggap kurang demokratis karena apa yang
dihasilkan dalam pemilihan Kepala Daerah kerapkali bertolak belakang dengan
keinginan rakyat.
Konsep pemilihan Kepala Daerah langsung secara normatif dapat
dijelaskan melalui pengertian asas pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 2 UndangUndang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Asas langsung berarti rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara.
Pararel dengan peraturan perundangan tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Peubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 ayat (1) disebutkan “Kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil”.
Salah satu landasan terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Penyelenggaranya adalah Komisi
Pemilihan Umum Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UndangUndang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam
perjalanannya selama 3 Tahun sejak 2005 hingga Oktober 2008 dari 472 daerah
yang telah menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
ada sebagian kecil yang berakhir dengan anarkhis yang merupakan buntut dari
sikap calon kepala daerah dan para pendukungnya tidak menerimakan hasil
penetapan Komisi Pemilihan Umum terhadap pasangan calon kepada daerah
terpilih.
Aksi demonstrasi para pendukung pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang kalah, juga disertai dengan aksi pengrusakan fasilitas
umum, kantor pemerintah, bahkan ada pula yang adu fisik antar pendukung.
Peristiwa kerusuhan pemilu kepala daerah yang di blow up media massa,
membuat tokoh agama Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH.A.Hasyim Muzadi,
meminta agar Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah perlu
dikaji ulang untuk dikembalikan lagi kepada system sebelumnya yakni pemilihan kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD. Alasannya selain menghindari bentrok
horizontal antar pendukung pasangan calon, juga perlu efisiensi pembiayaan
pemilu kepala daerah yang cenderung menguras dana APBD.
Pemilu kepala daerah secara langsung adalah implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika
politik lokal yang terjadi. Hanya saja untuk menghasilkan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang legitimate dengan pembiayaan yang efisien perlu
ditata ulang. Memang tidak mudah untuk menyatukan keinginan memperoleh
kepala daerah yang legitimate hasil pilihan langsung rakyat dengan
mempertimbangkan efisien pembiayaan, pasti ada Dilema antara “legitimasi” dan
“efisiensi” karena sulit rasanya untuk memadukan keduanya bisa menjadi two in
one. Karenanya untuk mencari solusinya penulis dalam penyusunan tesis
mengambil judul “Dilema Antara Legitimasi dan Efisiensi Pembiayaan Dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung “.
Solusi yang bisa ditawarkan Pertama; Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah kedepan tetap dipertahankan dan dilaksanakan secara langsung
oleh rakyat tampa melalui perwakilan dilembaga legislative. Alasannya,
partisipasi politik dari rakyat tentu akan menghasilkan kepala daerah yang
legitimate. Karena telah mendapat dukungan mayoritas dari rakyat tentu akan
tercipta stabilitas politik yang cukup kondusif.
Kedua; sistem pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
menggunakan model approval, yakni pemilih diberi peluang untuk menggunakan
hak pilihnya dengan cara pilihan ganda (memilih 2 atau 3 calon sekaligus).
Pasangan calon yang memperoleh suara tertinggi dinyatakan sebagai pasangan
terpilih. Tidak perlu ada pemilihan putaran kedua.
Ketiga; untuk mengatasi agar pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah
langsung efisien perlunya diselenggarakan pemilu kepala daerah gabungan
(Pilgab) yakni penggabungan antara Pemilu Gubernur (Pilgub) dengan Pemilu
Bupati/ Walikota (Pilbup/Pilwali). Penggabungan Pemilu Gubernur dengan
Pemilu Bupati/Walikota tidak ditabukan oleh Undang-Undang. Pasal 235
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
mencantumkan kemungkinan hal itu, dengan menyatakan “pemilihan Gubernur
dan Bupati/Walikota dalam satu daerah yang sama berakhir masa jabatannya pada
bulan dan tahun yang sama dan atau dalam kurun waktu antara 1 (satu) sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari, pemungutan suaranya diselenggarakan pada hari yang
sama”.
Collections
- MT-Science of Law [334]