dc.description.abstract | Manusia memiliki tabiat hidup bermasyarakat, demikian pula halnya suatu
negara atau subyek hukum yang lainnya tidak mungkin hidup mengisoler diri jauh
dari keramaian dunia. Terlebih lagi dalam perkembangan masyarakat
internasional, sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Suatu negara pasti akan
mengadakan kerjasama dengan negara lain yang diwujudkan dengan suatu
kesepakatan atau perjanjian, baik yang bersifat multilateral ataupun bilateral, dan
memiliki tujuan yang berbeda-beda dari setiap persetujuan atau perjanjian yang
disepakati. Indonesia memahami bahwa penanaman modal asing berperan penting
bagi keberlangsungan roda perekonomian di Indonesia, oleh karena itu untuk
memenuhi kebutuhan penanaman modal asing, maka Indonesia pada tanggal 25
Juni 2006 di Pulau Batam, mendatangani Memorandum of Understanding antara
Indonesia dan Singapura tentang Kerjasama Ekonomi, dengan tujuan
mempromosikan dan meningkatkan kemajuan ekonomi di Batam, Bintan, dan
Karimun sebagai objek pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. Dalam
Memorandum of Understanding terdapat 10 klausula yang telah disepakati,
Penandatanganan Memorandum of Understanding dari Indonesia diwakili
Dr.Boediono (MenKo Perekonomian),dan Pihak singapura diwakili oleh Mr.Lim
Hing Kiang ( Menteri Perdagangan dan Perindustrian). Dan kerjasama antara
Indonesia dengan Iran tentang Promosi dan Perlindungan Timbal Balik
Penanaman Modal yang ditandatangani 22 Juni 2005, di Teheran. Memorandum
of Understanding sering dipraktekkan dalam berbagai bidang di Indonesia,
dengan mengadopsi apa yang dipraktekkan secara internasional, perjanjian yang
tidak terlalu formal ini diintrodusir ke dalam hukum perdata Belanda oleh Rudolf
Von Jhering pada tahun 1906. Sejak itulah beragam jenis perjanjian pendahuluan
bermunculan dalam praktek dalam nama yang berbeda-beda sekalipun esensinya
sama. Di Indonesia pun jenis persetujuan ini sudah tidak asing lagi, sekalipun
belum ada aturan hukumnya di Indonesia. Dari kedua perjanjian kerjasama
dibidang ekonomi khusus yang dilakukan Indonesia dengan Singapura dalam
wujud memorandum of understanding, dan Persetujuan dengan Iran yang tertuang
dalam perjanjian, memiliki perbedaan dari segi kekuatan hukum serta akibat
hukum dari persetujuan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain. Menilik
dari latarbelakang, maka penulis bermaksud untuk menelaah perjanjian kerjasama
bidang ekonomi khusus antara Indonesia dengan negara lain.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah tipe
penelitian yuridis normatif artinya dengan mendasarkan kedua persetujuan bidang
ekonomi khusus yang dilakukan Indonesia dengan negara lain( Singapura dan
Iran) terhadap pendekatan segi hukum perjanjian yaitu asas-asas perjanjian untuk
menjawab beberapa rumusan masalah. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai,
maka metodologi dalam penelitian tesis ini menggunakan tiga macam pendekatan,
yakni pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) , pendekatan
perbandingan, dan pendekatan Konseptual (Conseptual Approarch). Dalam
pengumpulan bahan hukum ini penulis menggunakan metode dengan
mengklasifikasikan, mengkategorisasikan dan menginventarisasi bahan-bahan
hukum yang dipakai dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan, yaitu
kajian pustaka, identifikasi bahan hukum, analisis dan mengeliminasi hal-hal yang
tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang akan dipecahkan, pengumpulan
bahan-bahan hukum yang dipandang memiliki relevansi terhadap isu hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang
telah dikumpulkan, menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang
menjawab isu hukum, memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun dalam kesimpulan.
Tesis ini lebih menekankan pada asas-asas hukum perjanjian yang
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan perjanjian kerjasama bidang ekonomi
khusus yang dilakukan Indonesia dengan negara lain. Dan Kedua
persetujuan/perjanjian kerjasama bidang ekonomi khusus tersebut tertuang dalam
memorandum of understanding dan Perjanjian Internasional dengan obyek yang
sama yaitu bidang penanaman modal-modal, karena Memorandum of
understanding merupakan perjanjian pendahuluan yang belum diatur dalam
sistem hukum positif di Indonesia, namun pelaksanaannya dapat berpedoman
pada asas-asas hukum perjanjian, Buku III KUHPerdata yang memiliki sifat open
sytem. Aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya merupakan
penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara
umum dan menjadi landasan berpikir yaitu dasar ideologi aturan-aturan hukum.
Asas hukum merupakan landasan bagi norma hukum. Dengan demikian asas
hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada.
Asas-asas perjanjian tersebut diantaranya asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas Pacta Sunt Servanda, asas itikad baik, asas personalitas,
asas kepercayaan, asas persamaan hukum,asas kepastian hukum, dan asas
kepatutan. Salah satu asas yang penting dalam perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Berdasarkan
asas kebebasan berkontrak, maka para pihak tersebut diberikan kebebasan untuk
menentukan materi muatan atau substansi memorandum of understanding akan
mengatur apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum, serta penyusunan Memorandum of
understanding memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian (Pasal 1320
KUHPerdata). Asas-asas perjanjian pada dasarnya tidak terpisah satu sama lain,
namun dalam berbagai hal saling mengisi dan melengkapi. Akan tetapi
berdasarkan teori hukum klasik perjanjian, asas itikad baik belum dapat
diterapkan dalam perjanjian pendahuluan karena belum memenuhi syarat seperti
halnya perjanjian. Begitu juga halnya mengenai kekuatan hukum mengikat dari
memorandum of understanding Indonesia dengan Singapura belum mempunyai
kekuatan hukum jika didasarkan pada teori hukum klasik perjanjian, karena teori
hukum klasik perjanjian menginginkan kepastian hukum dalam setiap perjanjian,
sehingga janji-janji prakontrak belum mengakibatkan adanya hak dan kewajiban,
mka tidak menimbulkan akibat hukum, dan jika salahsatu ingkar janji, maka
hanya sanksi moral saja yang diterima. Berbeda halnya dengan Perjanjian
Indonesia dengan Iran yang telah mencerminkan perjanjian, apabila salahsatu
pihak ingkar janji maka dapat dikatakan wanprestasi.
Menyikapi situasi tersebut maka memorandum of understanding perlu
adanya payung hukum guna melindungi pihak-pihak yang dirugikan dalam
memorandum of understanding, kepentingan para pihak dalam tahap perjanjian
pendahuluan memerlukan pelindungan hukum, seperti halnya di negara-negara
yang menganut sistem common law. | en_US |