Show simple item record

dc.contributor.advisorAmrullah, M Arief
dc.contributor.advisorTanuwijaya, Fanny
dc.contributor.authorPradopo, Timur
dc.date.accessioned2020-07-30T01:10:15Z
dc.date.available2020-07-30T01:10:15Z
dc.date.issued2019-01-15
dc.identifier.nim160720101024
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/100241
dc.description.abstractPrinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) menyatakan bahwa para Hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Selama menjalankan tugasnya, Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Pada perkembangannya, kemandirian peradilan sempat mengalami hambatan pada era Pemerintahan Orde Lama. Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Pada masa demokrasi terpimpin, dilakukan penghapusan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukkan Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif. Prinsip kemandirian peradilan mendapatkan tantangan seiring dengan semakin berkembangnya masyarakat dan teknologi informasi. Pada era milenial, kebutuhan akan informasi sedemikian tingginya, sehingga muncul ide-ide keterbukaan informasi publik, sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat pada era milenial adalah kebutuhan akan informasi suatu perkara pidana di persidangan. Informasi tersebut dapat diperoleh oleh masyarakat melalui penyediaan konten berupa penayangan persidangan secara langsung (live) di televisi. Pada faktanya, prinsip kemandirian telah mendapatkan ujian dari pelaksanaan prinsip keterbukaan (transparansi). Munculnya pro dan kontra terhadap penerapan prinsip publisitas atau keterbukaan proses peradilan menjadi bahan yang sangat menarik untuk dibahas secara ilmiah. Pengaruh prinsip keterbukaan (disclosure) dalam arti kebebasan mendapatkan informasi terhadap prinsip kemandirian peradilan merupakan salah satu fakta yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi di seluruh dunia. Di Indonesia, tantangan terhadap penerapan prinsip independensi peradilan terkait dengan penerapan keterbukaan informasi memerlukan kejelasan dari segi peraturan. Untuk itu, diperlukan politik hukum pidana yang dapat menjadi sumber hukum daripada pembentukan kaidah yang tegas terkait hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas ad 2 (dua), yaitu: pertama, apa konsep fundamental atas pembatasan kebebasan penayangan persidangan perkara pidana secara penuh dan langsung (live) di televisi dengan tujuan untuk menunjang kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945?, kedua, Bagaimana kaidah dan konsep hukum atas penerapan prinsip keterbukaan dalam hal persidangan perkara pidana disiarkan secara langsung (live) di televisi? Metode penulisan yang digunakan penulis adalah yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan sumber hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuk meluruskan pandangan masyarakat tentang keluhuran kemandirian Hakim dalam suatu persidangan dan untuk mengetahui serta memahami prosedur dan konsep hukum terkait dengan proses persidangan yang terbuka untuk umum dalam hal persidangan tersebut disiarkan secara langsung (live) di televisi. xii Hasil kajian yang diperoleh bahwa: Pertama. Pembatasan kebebasan atau hak pers dalam penayangan proses persidangan secara langsung (live) melalui media elektronik adalah sesuai dengan dasar filosofis dan yuridis konstitusional, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Kedua. Pembatasan kebebasan atau hak pers dalam penayangan proses persidangan secara langsung (live) melalui media elektronik perlu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan ditegakkan secara hukum dalam konsep penindakan atas “contempt of court” yang diatur dalam Pasal 328 dan Pasal 329 RUU KUHP masih diperdebatkan oleh karena rumusan pasal yang multitafsir. Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain: pertama. Perlu sosialisasi bahwa pembatasan kebebasan atau hak pers dalam penayangan proses persidangan secara langsung (live) melalui media elektronik bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kebebasan pada prinsipnya tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kebebasan boleh diterapkan dalam batasbatas yang diperbolehkan oleh hukum. Kedua, Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, dengan cara menambahkan pasal antara pasal 153 dengan pasal 154, dimana pasal tersebut menngatur tentang prosedur yang dapat dijalankan oleh Pengadilan dalam membatasi hak pers dalam melakukan penayangan/publikasi atas proses persidangan, serta dilakukan penajaman atas rumusan atas pasalen_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFakultas Hukum Universitas jemberen_US
dc.subjectIndependensi Hakimen_US
dc.subjectPenayangan Persidangan Perkara Pidana DI Televisien_US
dc.titlePrinsip Independensi Hakim Terhadap Hak Keterbukaan Informasi Dalam Penayangan Persidangan Perkara Pidana DI Televisien_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiMagister Hukum
dc.identifier.kodeprodi0720101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record